Lompat ke konten

Keilmuan

Sela Informasi Hutan Jawa Dinamika Peran Hutan Jawa

Sumber: https://pixabay.com/images/id-1906012/

Sumber: https://www.flickr.com/photos/cifor/35482576230

Hutan jawa memiliki peran penting sebagai penyangga ekosistem Pulau Jawa. Akan tetapi di saat yang bersamaan, hutan di Pulau Jawa juga harus menerima tekanan dari masyarakat sebagai akibat perkembangan penduduk sehingga peran hutan di Jawa bertambah

Selain berperan sebagai penyangga ekosistem, Hutan Jawa juga dituntut untuk mampu memberikan kontribusi ekonomi terutama bagi masyarakat sekitar hutan dan pendapatan nasional. read more

Polemik yang Tak Kunjung Usai

Sumber: https://www.mongabay.co.id/2019/03/26/hutan-jawa-rusak-bukan-hanya-manusia-merugi-satwa-juga-menderita/

Sumber: https://www.mongabay.co.id/2019/03/26/hutan-jawa-rusak-bukan-hanya-manusia-merugi-satwa-juga-menderita/


Hutan di Jawa yang secara kasat mata terlihat hijau nan asri, tak lepas dari berbagai permasalahan yang ada di dalamnya.

Paradigma social forestry yang kini diterapkan di Jawa bak pisau bermata dua. Kualitas sumber daya masyarakat yang masih rendah menjadi alasan utama penghambat pelaksanaan social forestry. read more

Konstelasi Hutan Jawa di Masa Lampau

Sistem pengelolaan hutan jawa di masa lalu menganut pada pandangan atau model German Forestry School, model tersebut memiliki prinsip bahwa hutan sepenuhnya dikuasai oleh negara. Model German Forestry School berimplikasi terhadap munculnya konsep Minimum Diversity, konsep yang bertujuan untuk mendapatkan hasil optimal dengan batasan diversitas sehingga muncul istilah pohon komersial, lesser known species, dan economical species yang beberapa istilah tersebut masih sering kita gunakan sampai saat ini. Istilah atau konsep tersebut lahir dikarenakan adanya kebutuhan negara untuk mendapatkan sumber daya ekonomi lebih cepat dan lebih terukur. Kemudian ada juga konsep AAC, konsep yang bertujuan agar penebangan dilakukan sesuai dengan etat dan umur masak tebang. Konsep tersebut lahir untuk mencegah kerugian dalam proses penebangan.  Model sistem penguasaan ini dimulai dari pemerintah kolonial Hindia Belanda hingga masa orde reformasi [1].  read more

Jejak Perjalanan Hutan Jawa

Keadaan Hutan Jawa telah mengalami perubahan dimulai dari jumlah luasan, keadaan fisik, dan juga sistem pengelolaan. Apabila ditinjau dari segi pengelolaan dan pemanfaatan maka dapat diuraikan, sebagai berikut:

  • Periode timber extraction (1200 – 1800)


Periode timber extraction (1200 – 1800)
Sumber: https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1627488396/b59lw3siw7jsqs7al6tk.png

Penurunan luasan tutupan hutan di Pulau Jawa dimulai sejak zaman kerajaan dan terus terjadi sampai
sekarang.  Kayu jati menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan untuk bahan pembuatan kapal perang yang berguna sebagai armada laut untuk penguasaan dan pengawasan wilayah bagi berbagai kerajaan sejak masa kejayaan Singasari dan puncaknya sampai kekuasaan kerajaan Majapahit (Maji, 2019). read more

Hutan Jawa : Sebuah Potret Menyedihkan

Ilustrasi Kerusakan Hutan Jawa
Sumber: https://betahita.id/news/lipsus/5891/10-provinsi-kaya-hutan-di-indonesia-terus-alami-deforestasi.html?v=1616421463

Ilustrasi Masyrakat Desa Hutan
https://www.pdamtirtabenteng.co.id/berita/hutan-gundul-di-gunung-salak-penyebab-das-cisadane-banjir-dan-meluap

 

Deforestasi secara besar-besaran telah terjadi di Pulau Jawa sejak beberapa waktu yang lampau. Data dari FWI menyatakan bahwa Jawa mengalami deforestasi sebesar 2.050.645 ha dari periode 2000 – 2017 dengan laju sebesar 125.460 Ha/tahun. read more

[MH PEDIA] Agroforestry di Hutan Rakyat

Tahukah kamu, praktik pengelolaan hutan rakyat dilakukan dengan pendekatan sistem agroforestry, yaitu dengan memadukan tanaman semusim dan komponen pohon pada tempat dan waktu yang sama. Pada perkembangan pengelolaan hutan rakyat terdapat banyak variasi dan turunan dari pola agroforestry ini, namun pertimbangan dasar dalam pemilihan semua pola tersebut sama, yaitu pola agroforestry berbasis kebutuhan (PABK). Kebutuhan yang dimaksud secara umum merepresentasikan dari kebutuhan pangan, pakan dan papan.

Pola agroforestry menurut PABK, antara lain pola Lorong (alley cropping), pola pohon pembatas (trees along border), pola baris (alternate rows), dan pola campur (random mixtures). Pola pohon pembatas (trees along border) memiliki kelebihan yaitu produktivitas tanaman semusim tinggi, namun memerlukan pruning rutin pada komponen pohonnya. Pola Lorong memiliki kelebihan dalam hal konservasi tanah air, namun memiliki kelemahan dimana bidang olah terbatas, pola campur memiliki kelebihan berupa adanya hasil musiman dari komponen pohon berupa buah, namun pada pola ini ruang yang ada menjadi tidak teratur dan pola baris memiliki kelebihan ruang yang teratur namun memiliki kekurangan karena pola ini memerlukan perlakuan pruning secara rutin. Pada penerapannya, pola pohon pembatas akan dipilih dengan pertimbangan biofisik lahan dalam kondisi datar, pola Lorong akan dipilih apabila kondisi lahan tidak datar, dan pola campur dipilih dengan pertimbangan adanya keterbatasan tenaga dalam proses pemeliharaan.

 

Sumber :

Maryudi, Ahmad dan Ani Adiwinata Nawir.2018. Hutan Rakyat di Simpang Jalan.Yogyakarta: UGM Press.

Tanaman Porang sebagai Alternatif Tumbuhan Bawah Hutan Rakyat

cr: google image

Tegakan hutan menyimpan sumber pangan yang melimpah sebagai pengganti tepung terigu dan beras antara lain adalah jenis umbi-umbian. Penerapan sistem agroforestri atau pola tumpangsari yang memadukan jenis tanaman kehutanan dengan tanaman semusim seperti umbi-umbian yang disesuaikan dengan kondisi hutan yang diharapkan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat sekitar hutan untuk meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan. Penanaman tanaman pangan seperti jenis umbi-umbian di bawah tegakan hutan diduga tidak hanya meningkatkan ketahanan pangan dan pendapatan masyarakat di sekitar hutan tapi juga dapat mengkonservasi tanah dan air serta meningkatkan kualitas biologi tanah sehingga dapat menjamin kelestarian hutan rakyat.

Salah satu alternatif tumbuhan bawah jenis umbi-umbian yaitu tanaman porang. Tanaman porang termasuk dalam famili Araceae. Tanaman porang sering disebut dengan nama iles-iles yang mempunyai nama ilmiah Amorphophallus Muelleri Blume. Porang mampu hidup di berbagai jenis dan kondisi tanah. Porang dapat tumbuh pada ketinggian 0 hingga 70 meter diatas permukaan laut. Saat ini, tanaman porang masih belum banyak dibudidayakan dan banyak ditemukan di hutan-hutan secara liar. Tanaman ini dapat dibudidayakan di bawah naungan. Tingkat kerapatan naungan yang baik untuk tanaman porang adalah 30%-60% (Sulistiyo, dkk., 2015).

Tanaman Porang diketahui banyak mengandung glucomannan berbentuk tepung atau serat alami yang larut dalam air. Glucomannan ini sering dimanfaat oleh industri pangan, kimia maupun farmasi. Produk-produk yang dihasilkan dari glucomannan antara lain mie, bahan campuran kue, roti, selai, es krim, permen dan sebagainya. Sedangkan, untuk produk yang biasa diolah dari umbi-umbian yang dihasilkan adalah keripik, tepung porang dan tepung glucomannan. Tanaman porang memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, yaitu dengan kandungan pati sebesar 76,5%, protein 9,20%, serat 25%, dan lemak sebesar 0,20%. untuk itu porang dapat dijadikan sebagai salah satu jenis tanaman alternatif karena memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi (Syaefulloh, 1990 dalam Rahmadaniarti, 2015).

Tanaman Porang memiliki nilai ekonomis baik dari umbinya, kandungan glucomannan serta biji tanaman porang. Harga umbi segar yang telah layak dipanen untuk diambil glukomanan nya berkisar antara Rp 3000-3.500/kg. Namun, jika menjadi bentuk keripik, harganya menjadi Rp17.500-22.000/kg. Apabila telah diproses lebih lanjut menjadi tepung glucomannan, harganya meningkat menjadi sekitar Rp125.000-150.000/kg. Dengan demikian, adanya budidaya tanaman porang mampu memberikan sumbangan 40-90% dari total pendapatan masyarakat sekitar hutan rakyat. Selain secara finansial, tanaman porang menguntungkan pada masyarakat, budidaya porang di bawah tegakan hutan. Menurut Permadi dan Latifah (2012), melalui program PHBM juga memberikan keuntungan tidak langsung berupa terjaminnya keamanan kawasan hutan dari ancaman penjarahan. Kawasan hutan yang terdapat budidaya porang, tingkat kerawanan kehilangan kayunya lebih rendah dari pada kawasan yang tidak ada budidaya porang.

 

Sulistiyo, R. H., Soetopo, L., & Damanhuri, D. (2015). Eksplorasi Dan Identifikasi Karakter Morfologi Porang (Amorphophallus Muelleri B.) Di Jawa Timur. Jurnal Produksi Tanaman, 3(5).

Permadi, D.B. dan L.P. Latifah. 2012. Potensi Agroforestri porang dalam menekan pencurian hutan jati dalam Budiadi, Permadi, D.P dan Latifah, L.P. (Ed.) Agroforestri porang, Masa depan hutan Jawa. Indonesian managing higher education for relevance and effeciency (IMHERE). Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Rahmadaniarti A. 2015. Toleransi Tanaman Porang (Amorphophallus oncophyllus Prain.) Terhadap Jenis dan Intensitas Penutupan Tanaman Penaung. Jurnal Kehutanan Papuasia. Vol 1 (2): 76-81.

 

[MH PEDIA] Manajemen Lahan sebagai Strategi Jangka Panjang dalam Mitigasi Perubahan Iklim Indonesia

Demografi Indonesia  menjadi faktor penting dalam pengelolaan sektor penggunaan lahan yang terkait untuk ketahanan pangan, produksi pertanian, dan mata pencaharian jutaan rakyat Indonesia. Kepentingan penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan menjaga keutuhan ekologi harus diseleraskan. Rencana jangka Panjang harus dilakukan dengan menerapkan  manajemen lahan masa depan untuk menekan lau deforestasi dalam upaya mitigasi iklim.  Pertama, menetapkan kerangka kerja dalam upaya pengelolaan dan tata kelola penggunaan lahan dalam jangka panjang. Kedua dengan memelihara dan memulihkan ekosistem penggunaan lahan saat ini, dengan  membangun perlindungan hutan, lahan gambut, dan ekosistem alam lainnya untuk menjaga ketahanan di sektor-sektor seperti air, energi, serta kesehatan dan keselamatan publik.  Ketiga dengan berinvestasi pada pengurangan emisi berbasis lahan berbiaya rendah sebagai  opsi mitigasi yang berbiaya lebih tinggi dengan menambah akselerasi  pengembangan teknologi mitigasi di masa depan (Seymour 2018). Ketiga tahap ini merupakan solusi alterative untuk mitigasi iklim jangka Panjang di Indonesia.

Daftar Pustaka

Seymour, F. 2018. “Integrating the Land Sector into Long-Term Strategies, with Special Attention to Forests.” Expert Perspectives. Washington.

Peran Hutan Rakyat dalam Pembangunan Nasional

Potensi hutan alam sebagai penghasil kayu bagi pembangunan nasional semakin hari semakin menurun, di sisi lain permintaan kayu terutama sebagai bahan baku industri pengolahan kayu makin bertambah. Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui pengembangan hutan rakyat. Disamping mempunyai fungsi pendukung lingkungan, konservasi tanah dan perlindungan tata air, hutan rakyat atau lahan-lahan lain diluar kawasan hutan juga mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam upaya pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu yang dihasilkan dari luar kawasan hutan milik negara. Luas hutan rakyat di Indonesia, adalah 1.271.505,61 ha, dengan jumlah perkiraan tegakan sebanyak 42.965.519 pohon. Adapun jenis tanaman yang paling banyak ditanam di hutan rakyat, diantaranya adalah : Sengon (Albizia falcataria), Mahoni (Swietenia macrophylla), Jati (Tectona grandis), Akasia (Acacia mangium), Sonokeling (Dalbergia latifolia), Pete (Parkia speciosa), Nangka (Artocarpus integra), Gamal (Inocarpus edulis), Mindi (Melia azadararah), Cemara (Causuarina equisetifdia), Suren (Toona sureni), Mangga (Mangifera indica), Melinjo (Gnetum gnemon), Kelapa (Cocos nicifera), Kemiri (Aleurites moluccana), Pinang (Casearia coriacea), Mete (Daemonorops niger), Rambutan (Nephelium lappaceum), Durian (Durio ziberthinus), Bambu (Gigancochloa apus), Sungkai (Heterophrogma macrolobum), Karet (Ficus elastica), Kopi (Abelmoschus esculentus), Kapuk (Ceiba pentandra), Ampupu (Ecalyptus urophylla), Johar (Cassia siamea), Cempedak (Artocarpus champeden), Angsana (Pterocarpus indica), Nyatoh (Palaquium javense), Enau (Arenga pinnata), Asam (Tamarindus indica), Kaliandra (Calliandra calothygisus), Matoa (Pometia pinnata) dan Sonokrit (Dalbergia sisso).

 

Daftar Pustaka :

Syahadat, E., 2006. Kajian pedoman penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat sebagai dasar acuan pemanfaatan hutan rakyat. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 3(1), pp.75-90.

 

[MH PEDIA] Keunikan Praktik Usaha Hutan Rakyat

Menurut Byron (dalam Maryudi dan Nawir, 2018) praktik usaha hutan rakyat mempunyai beberapa keunikan, yang mencakup aspek kapasitas untuk berinvestasi dalam jangka panjang, sekuritas tenurial (kepemilikan lahan), dan kapasitas untuk beradaptasi terhadap kepastian pasar dan harga kayu, dan berbagai kendala lainnya.

Pengusahaan hutan rakyat kontras dengan pengusahaan hutan skala besar (industri) dalam hal tujuan dan pilihan teknik pengusahaan hutan yang diaplikasikan. Pengusahaan hutan skala besar biasanya ditujukan untuk memaksimalkan produktivitas kayu komersial untuk memastikan pasokan bahan baku bagi industri dan keuntungan finansial; sedangkan pengusahaan hutan rakyat cenderung fokus pada optimalisasi output per satuan luas areal, tenaga kerja dan input lainnya dengan cara (misalnya) membatasi jumlah pohon yang ditanam dan pemilihan spesies adaptif, dan/atau meningkatkan pembagian sumber daya (resource sharing) dengan penananman beragam spesies dalam waktu dan ruang yang sama. Petani hutan rakyat juga cenderung memilih jenis multiguna daripada model monokultur.

 

Dikutip dari:

Maryudi, A. and Nawir, A.A., 2018. Hutan rakyat di simpang jalan. Yogyakarta: UGM PRESS.