Lompat ke konten

Jejak Perjalanan Hutan Jawa

Keadaan Hutan Jawa telah mengalami perubahan dimulai dari jumlah luasan, keadaan fisik, dan juga sistem pengelolaan. Apabila ditinjau dari segi pengelolaan dan pemanfaatan maka dapat diuraikan, sebagai berikut:

  • Periode timber extraction (1200 – 1800)


Periode timber extraction (1200 – 1800)
Sumber: https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1627488396/b59lw3siw7jsqs7al6tk.png

Penurunan luasan tutupan hutan di Pulau Jawa dimulai sejak zaman kerajaan dan terus terjadi sampai
sekarang.  Kayu jati menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan untuk bahan pembuatan kapal perang yang berguna sebagai armada laut untuk penguasaan dan pengawasan wilayah bagi berbagai kerajaan sejak masa kejayaan Singasari dan puncaknya sampai kekuasaan kerajaan Majapahit (Maji, 2019).

  • Periode persiapan timber management (1800 – 1892)


Periode persiapan timber management (1800 – 1892)
Sumber: https://elangindonesia.or.id/wp-content/uploads/2020/11/hutan-alam-pulau-jawa.jpg

Sekitar awal abad ke-19, Pada awalnya luas hutan alam di Pulau Jawa mencapai 77 persen dari luas Pulau Jawa yakni sekitar 10 juta hektar. Akan tetapi, luas hutan alam mengalami penurunan yang signifikan pada pertengahan abad ke-19. Hal tersebut dikarenakan mulai diterapkannya sistem tanam paksa oleh kekuasaan kolonial belanda di Indonesia. Hutan diubah menjadi perkebunan tebu dan kopi. Dalam kurun 70 tahun, seluas 300.000 hektar lahan hutan telah beralih menjadi lahan perkebunan teh dan kopi. Diterapkannya boschreglement tahun 1865 yang menjadi dasar hukum kontrak penebangan hutan karena kegiatan eksploitasi hutan diserahkan kepada swasta. Dengan adanya kebijakan tersebut, eksploitasi hutan harus melalui kontrak penebangan hutan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pihak swasta menjadi pihak yang paling diuntungkan dengan dikeluarkannya kontrak penebangan hutan secara ilegal oleh pemerintah (Artono, 2013).

  • Periode pelaksanaan I timber management (1892 – 1942)

Sebelum penguasaan Jepang, konsep penting seperti petunjuk teknis penjarangan, tabel Wolff von Wulfing dan ferguson, rencana pengusahaan (Instruksi 1938), pembuatan tanaman, dan konsep UU Kehutanan dihasilkan pada pelaksanaan I timber management yang dimulai tahun 1892 hingga pada awal penjajahan Jepang.

  • Periode pelaksanaan II timber management (1942 – sekarang)


Periode pelaksanaan II timber management (1942 – sekarang)
Sumber: https://asset.kompas.com/crops/NBxNKP92rk2cfb2g_X8o44gTBpM=/56×178:1541×1168/750×500/data/photo/2021/11/23/619cd7d1a007b.jpg

Sekitar awal abad ke-20, setelah Indonesia dikuasai oleh Jepang, Hutan dieksploitasi dua kali lebih besar dari jatah tebang untuk digunakan sebagai biaya perang dan pembukaan hutan untuk disewakan kepada penduduk sebagai lahan tanaman pangan, tepatnya pada tahun 1942-1945. Menurut World Resource Institute Indonesia, tutupan hutan pada tahun 1950 mencapai 13,3 juta hektar. Dari pelaksanaan ini, muncul beberapa kondisi seperti kondisi pengelolaan masih belum ada arah yang jelas, kondisi keberhasilan masa lalu, kondisi transisi perkenalan dari 1974 hingga akhir 1963, persiapan masalah, dan uji coba social forestry.

  • Periode uji coba Social Forestry (1974 – sekarang)


Periode uji coba Social Forestry (1974 – sekarang)
Sumber: https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2019/03/Hutan1.jpg

Pada awal tahun 1970-an, deforestasi menjadi masalah yang serius dan menimbulkan banyak bencana seperti banjir dan erosi. Hal tersebut terjadi karena penebangan secara komersial dibuka secara besar-besaran. Menurut Perkiraan Global Forest Watch dalam Forest Watch Indonesia, tutupan lahan di Pulau Jawa diperkirakan hanya mencapai 1,275 juta hektar tahun 1985 dan mengalami kenaikan pada tahun 1997 sebesar 595 ribu hektar. Berdasarkan pengelolaan hutan, landasannya masih didasarkan pada norma yang berlaku satu abad yang lalu dan masih didasarkan prosedur konvensional (timber management).

Pada awal tahun 2000 hingga sekitar 2009, luas hutan sudah mengalami penurunan yang sangat drastis dari 77 persen hingga tinggal 2,8 persen saja untuk hutan alam.  Sedangkan, tutupan lahan hutan di pulau jawa seluas 2,37 juta hektar atau 18,7% dari luas Pulau Jawa. Data tersebut membuktikan bahwa mulai tahun 1990-an, eksploitasi sudah mulai dihentikan dan dilakukan pengelolaan hutan untuk konservasi. Perubahan tutupan hutan di Pulau Jawa sebanyak sekitar 60,64 persen telah mengalami deforestasi dengan luasan sebesar 1,383 juta hektar sehingga tutupan hutan yang tersisa hanya sekitar 898 ribu hektar (Sumargo dkk, 2011). Jika dibandingkan luasan tutupan hutan dengan pulau lainnya, tutupan hutan di Pulau Jawa hanya sekitar 1,02 persen saja.

Pada tahun 2013, data tutupan hutan alam sekitar 1,035 juta hektar yang mengalami penurunan dari luas sekitar 1,366 juta hektar pada tahun 2009. Dari data World Resource Institute Indonesia, Pulau Jawa memiliki luas Hutan Alam paling rendah dibandingkan dengan pulau lainnya. Sedangkan berdasarkan analisis Forest Watch Indonesia, deforestasi pada periode 2009 hingga 2013 menjadi 32,64% untuk tutupan hutan alam.  Selanjutnya pada tahun 2017, tutupan hutan alam mengalami deforestasi kembali dengan sisa hutan alam sekitar 905 ribu hektar dengan sekitar 10 ribu hektar dibebani izin berupa tambang (FWI, 2018). Apabila dilihat dari data tutupan hutan, tahun 2015 hutan seluas 3,206 juta hektar dan mengalami penurunan menjadi 2,711 juta hektar pada tahun 2020 (Data BPS, 2021).

Mengutip LIPI, luasan hutan di Pulau Jawa pada tahun 2021 hanya 19% yang tutupan hutan dan 5% lainnya kebun raya dan taman keanekaragaman hayati. Angka kawasan hutan sebesar 24% tergolong kecil jika dibandingkan oleh pulau lainnya. Luasan yang semakin menurun diakibatkan oleh alih fungsi untuk lahan pertanian, pemukiman, industri, dan lain sebagainya. Dapat dilihat bencana seperti banjir, tanah longsor, konflik satwa, kepunahan satwa, dan krisis air  menjadi masalah yang terus terjadi setiap tahunnya di Pulau Jawa. Luas hutan yang kecil ditambah dampak yang begitu besar dengan kondisi pulau yang menampung penduduk paling tinggi serta sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan menjadikan hutan sangat perlu untuk dijaga dan dilestarikan.

 

Daftar Pustaka

https://mediaindonesia.com/humaniora/394172/luas-hutan-di-pulau-jawa-tinggal-24
https://www.bps.go.id/statictable/2020/02/17/2084/luas-penutupan-lahan-indonesia-di-dalam-dan-di-luar-kawasan-hutan-tahun-2014-2020-menurut-kelas-ribu-ha-.html
https://fwi.or.id/wp-content/uploads/2019/10/FS_Deforestasi_FWI_small.pdf
https://wri-indonesia.org/sites/default/files/keadaan_hutan_bab_2.pdf
https://elangindonesia.or.id/en/2020/11/17/sejarah-hutan-alam-di-pulau-jawa/
Artono. 2013. Kontrak Penebangan Hutan Jati Di Tuban 1865 -1942. Jurnal AVATARA. Vol. 1, No.2.
Purba, C. P. P., Soelthon, G. N., Markus, R., Isnenti A., Linda R., Nike A. S., dan Abu H. M. 2014. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013. Forest Watch Indonesia.
Sumargo, W., Soelthon, G. N., Frionny A. N., dan Isnenti A. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009. Forest Watch Indonesia.
Nawir, Ani Adiwinata,  Murniati, dan Lukas Rumboko. 2008. Rehabilitasi Hutan di Indonesia: Akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa?. Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Research (CIFOR).
Mawardi, I. 2010. Kerusakan Daerah Aliran Sungai dan Penurunan Daya Dukung Sumberdaya Air di Pulau Jawa serta Upaya Penangannya. Jurnal Hidrosfir Indonesia. Vol. 5, No. 2.
Maji, Aulia R. S. 2019. Wong Blandong Eksploitasi dan Rehabilitasi Hutan Jati Di Jawa Pada Masa Kolonial. Forum. Yogyakarta.
Awang, S. F., dan Bambang A. S. Perubahan Arah dan Alternatif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.