[MH PEDIA] Mengenal Hutan Mangrove
Indonesia adalah negara maritim sekaligus negara kepulauan dengan luasan pantai yang begitu besar. Suatu keharusan bagi kita untuk mengetahui dan mempelajari ekosistem hutan pantai demi dapat menjaga kelestariannya. Pada umumnya hutan pantai di Indonesia terdiri atas 3 tipe ekosistem, yaitu hutan pantai formasi pescaprae, baringtonia dan hutan mangrove (Sugiarto dan Ekariyono, 2003 dalam Mardianto, 2020). Namun jenis hutan yang akan dibahas kali ini adalah hutan mangrove yang mungkin kurang dikenal oleh masyarakat awam, padahal ekosistem mangrove telah menjadi perhatian internasional dibuktikan dengan peringatan hari mangrove sedunia setiap tanggal 26 Juli. Luas hutan mangrove sebenarnya kurang lebih hanya 0.4% dari total luas hutan dunia, namun ekosistem ini memiliki peranan besar sebagai penyerap karbon lebih dari 4 sampai 112 gigaton/tahun. Indonesia sendiri memiliki 75% dari total hutan mangrove di Asia Tenggara (Purnobasuki, 2012).


UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang belum lama ini disahkan membahas salah satu substansi yang cukup menarik dan banyak diperdebatkan, yaitu mengenai revisi UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan tepatnya pada pada pasal 18 ayat 2 yaitu penghapusan batas minimal kawasan hutan 30 persen. Bagian yang paling menarik sebenarnya adalah angka 30 persen dan bagi orang awam pasti menjadi pertanyaan, seperti dari manakah sebenarnya asal-usul angka 30 persen tersebut? Sebagian besar berpendapat angka ini merupakan adopsi dari pemerintahan Hindia Belanda dan dulu banyak pihak berpendapat angka 30 persen ini tepat untuk menentukan luasan minimum kawasan hutan. Angka ini kemudian dijadikan kurikulum pendidikan di berbagai pendidikan khususnya perguruan tinggi, menjadi sebuah rujukan dalam mengambil kebijakan politik, dan menjadi dasar sebagai diskusi maupun artikel ilmiah. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai sejarah dari ketentuan luas minal kawasan hutan 30 persen,ada 3 istilah penting yang perlu kita perhatikan yaitu: hutan, kawasan hutan, dan angka 30 persen.
Indonesia mengalami perubahan tutupan dan kondisi hutan secara drastis dimulai pada tahun tahun 1970an. Perubahan ini dipicu akibat deforestasi dan degradasi hutan yang tidak terkendali sebagai dampak atas kebijakan promosi industry kayu Indonesia di kancah Internasional. Kebijakan tersebut mengarah pada praktik industri hasil hutan kayu yang hanya mengolah kayu bulat berkualitas tinggi dan meninggalkan limbah kayu yang sangat besar di hutan. Hal ini mendorong eksploitasi yang berlebihan dengan tujuan untuk memperoleh lebih banyak pohon dewasa yang dapat menyebabkan gangguan lebih lanjut pada hutan sekunder. Kebijakan ini bahkan semakin diperparah dengan prosedur monitoring dan evaluasi yang tidak ada. Peraturan kehutanan Indonesia juga tidak menetapkan sanksi hukum yang konkrit terhadap kejahatan kehutanan.
Sejak kecil sebagian dari kita mungkin sudah mengenal istilah reboisasi hutan, kata ini adalah kata paling umum untuk semua kalangan dan mungkin hampir semua orang yang pernah berada di bangku SD pasti tahu arti dari kata tersebut. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi, pengertian reboisasi adalah upaya penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak yang berupa lahan kosong, alang-alang atau semak belukar untuk mengembalikan fungsi hutan. Secara garis besar pengertian pada peraturan pemerintah tersebut sama seperti pengertian secara umum yang kita pahami bahwa reboisasi adalah penanaman kembali hutan gundul untuk memperbaiki fungsi hutan tersebut. Selain reboisasi baru-baru mulai ditemukan istilah-istilah baru yang berkaitan dengan pengembalian fungsi hutan baik itu di portal berita maupun media sosial, beberapa kata yang terkenal misalnya restorasi, rehabilitasi dan reklamasi. Saat membacanya, tentu kadang kita bertanya-tanya sebenarnya apa arti dari masing-masing kata tersebut, sama kah dengan reboisasi?
Pandemi Covid-19 adalah wabah penyakit yang telah menyebar hampir ke seluruh negara di dunia. Covid-19 membuat Indonesia menduduki peringkat keempat sebagai negara terpadat yang diprediksi memiliki penderitaan yang memakan waktu lama akibat pandemi tersebut. Namun Presiden Indonesia, Joko Widodo, menegaskan untuk tidak melakukan lockdown dengan alasan bahwa karakter yang dimilliki Indonesia, seperti budaya dan kedisiplinannya, berbeda dengan negara- negara lain utamanya negara yang berhasil menerapkan lockdown. Tapi ternyata di tengah lonjakan kasus yang ada di Indonesia, Masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak masih terhindar dari paparan Covid- 19. Hal ini konfirmasi oleh Kabid Pencegahan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak dr. Firman Rahmatullah, pada saat itu ia menyatakan bahwa belum ada warga Baduy yang terpapar Covid-19 (Muhammad, 2020). Rupaya terdapat peran budaya adat dan kearifan lokal masyarakat Baduy yang membuat suku tersebut masih terhindar dari ancama Covid-19.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sekali keanekaragaman flora dan fauna. Kusmana dan Hikmat (2015) menyebutkan bahwa hutan Indonesia memiliki jenis-jenis pohon yang beranekaragam, antara lain keanekaragaman jenis pohon palem (Araceae) lebih dari 400 spesies (70%) tertinggi di dunia, keanekaragaman pohon meranti (Dipterocapaceae) terbesar didunia dan jumlah spesies bambu sebanyak 122 spesies dari 1.200 spesies yang ada di bumi. Beberapa fungsi pokok hutan di Indonesia, diantaranya hutan dengan fungsi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi, pemanfaatannya dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan (kayu maupun bukan kayu). Izin pemanfaatan hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. Izin yang dimaksud dapat diperuntukan bagi perorangan, koperasi, BUMN maupun BUMN.
Ruang terbuka hijau (RTH) secara singkat dapat diartikan sebagai pertemuan antara sistem alam dan manusia di wilayah perkotaan. Ruang terbuka hijau di perkotaan adalah contoh keseimbangan sistem, namun sayangnya proporsi RTH saat ini semakin berkurang seiring dengan meningkatnya populasi dan kepadatan penduduk sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan diantara dua sistem tersebut (Rahmy, 2012). Salah satu penyebab berkurangnya proporsi RTH adalah semakin masifnya pembangunan infrastruktur di wilayah perkotaan untuk mendorong pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi memang hal yang penting, namun kita tidak boleh lupa, jika penopang kehidupan manusia tidak hanya sebatas ekonomi saja, namun juga ekologi kaitannya dengan ketersediaan air, udara dan lingkungan yang bersih dan sehat. Sehingga mempertahankan keberadaan Ruang terbuka hijau di Kawasan perkotaan serasa bukan lagi kewajiban, namun kebutuhan kita semua. Ada beragam jenis ruang terbuka hijau, bahkan menurut Permendagri No. 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, jenis ruang terbuka hijau mencapai 23 jenis. Namun diantara semua itu, akan dibahas salah satu jenis yang cukup kita kenal dan sedang menjadi perbincangan akhir-akhir ini yaitu hutan kota.
Pemicu terbesar deforestasi secara tidak langsung banyak ditemukan di pasar komoditas dan keuangan global, tetapi solusi untuk mengatasi pendorong ini belum sepenuhnya dieksplorasi terutama pada perusahaan yang bergerak di sector yang mengalihkan fungsi lahan hutan menjadi pertanian atau perkebunan. Ada kampanye dan komitmen perusahaan untuk menghilangkan deforestasi yang terkait dengan produksi komoditas pertanian atau perkebunan, tetapi hingga saat ini hanya ada sedikit atau tidak ada dampak terukur pada laju deforestasi nasional atau global. Kampanye khusus perusahaan yang ditargetkan telah mencapai beberapa keberhasilan, tetapi upaya di seluruh system belum terbukti efektif. Alasan lain perusahaan acuh terhadap komitmen nol deforestasi adalah karena sebagian besar pasar keuangan tidak membedakan antara komoditas berdasarkan jejak deforestasinya atau keberlanjutan produksinya secara lebih luas. Misalnya, sertifikasi yang baik, faktanya, menurut data dari Bloomberg Terminal yang dianalisis oleh Climate Advisers pada tahun 2016, tidak ada lebih dari 490 produk pertanian yang diperdagangkan di bursa secara global yang dibedakan oleh transparansi mengenai asal usul atau sertifikasinya. Dengan kata lain, tidak ada komoditas pertanian atau perkebunan yang diperdagangkan di bursa yang memiliki sertifikasi atau komitmen nol deforestasi. Semua sertifikasi dan produk yang terkait dengan nol-deforestasi hingga saat ini hanya bertransaksi secara bilateral, bukan di bursa global.


