Lompat ke konten

kmmh.fkt

Hutan Jawa : Sebuah Potret Menyedihkan

Ilustrasi Kerusakan Hutan Jawa
Sumber: https://betahita.id/news/lipsus/5891/10-provinsi-kaya-hutan-di-indonesia-terus-alami-deforestasi.html?v=1616421463

Ilustrasi Masyrakat Desa Hutan
https://www.pdamtirtabenteng.co.id/berita/hutan-gundul-di-gunung-salak-penyebab-das-cisadane-banjir-dan-meluap

 

Deforestasi secara besar-besaran telah terjadi di Pulau Jawa sejak beberapa waktu yang lampau. Data dari FWI menyatakan bahwa Jawa mengalami deforestasi sebesar 2.050.645 ha dari periode 2000 – 2017 dengan laju sebesar 125.460 Ha/tahun. read more

Kontribusi Rehabilitasi Hutan dan Lahan Melalui Penanaman Jenis Multi Purpose Species Dalam Meningkatkan Ekonomi Masyarakat Desa Hutan

 

Lebih dari 50% masyarakat Indonesia memiliki ketergantungan terhadap hasil hutan baik kayu maupun non kayu. Kondisi tersebut disebabkan karena mereka bermukim di sekitar kawasan hutan. Ketergantungan masyarakat tersebut tidak serta merta tanpa alasan, melainkan memang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat sekitar hutan cenderung memiliki angka kemiskinan yang tinggi dan mempunyai tingkat pendidikan yang rendah (Suyanto dan Khususiyah, 2006). Tingkat pendidikan yang rendah akan membatasi pemahaman terhadap upaya perbaikan hutan dan lahan baik dari segi pemanfaatan maupun konservasi. Hal tersebut dapat menyebabkan adanya kerusakan pada kawasan hutan karena beberapa kesalahan dalam pemanfaatannya. Dilihat dari pendapatan yang hanya mengandalkan hasil hutan, angka kemiskinan untuk masyarakat desa hutan masih tergolong tinggi. Wollenberg et al. (2004) dalam Dewi (2018) pernah mengkaji mengenai gambaran kemiskinan masyarakat sekitar hutan di Indonesia dan ketergantungannya pada hutan, dijelaskan bahwa masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu kelompok miskin terbesar di Indonesia. Sekitar 48,8 juta orang tinggal pada lahan hutan negara dan sebagian kebutuhan hidupnya terpenuhi dari hutan. Untuk itu perlu adanya kegiatan yang dapat meningkatkan produktifitas kawasan hutan yang sudah mengalamai kerusakan sehingga dapat bermanfaat lebih untuk masyarakat tanpa mengubah fungsi hutan yang semestinya. Salah satu kegiatan yang dapat meningkatkan dan memperbaiki manfaat hutan khusunya untuk masyarakat sekitar tanpa mengubah fungsi hutan adalah rehabilitasi hutan dan lahan.

Menurut Peraturan Pemerintah No 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, rehabilitasi hutan dan lahan bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Masyarakat memandang rehabilitasi lahan sangat berdampak dari segi ekonomi dan belum melihat dari dampak lingkungannya. Ketergantungan masyarakat terhadap keberadaan hutan berkaitan dengan hal ketersediaan air dan kesuburan tanah. Oleh karena itu, masyarakat bersedia untuk menjaga tanaman yang telah ditanam melalui kegiatan RHL. Pandangan positif dari masyarakat memberi dampak baik terhadap keberhasilan program RHL khususnya kelangsungan hidup tanaman yang telah ditanam (Hermawan, et al. 2016). Salah satu strategi kegiatan RHL dalam meningkatkan ekonomi masyarakat desa hutan adalah pada pemilihan komposisi jenis tanaman yang akan di tanam. pengadaannya dilaksanakan berdasarkan tingkat kesesuaian kondisi spesifik lokasi dan mempunyai fungsi konservasi. Komposisi jenis tanaman terdiri dari tanaman kayu-kayuan dan tanaman unggulan lokal dan jenis tanaman MPTS (Multi Purpose Trees Species). Tanaman MPTS diartikan sebagai tanaman kekayuan yang bersifat multiguna karena bermanfaat dari segi ekologi maupun dari segi ekonomi, serta menghasilkan komoditas kayu dan nir-kayu, sehingga petani penggarap bisa memanfaatkan komoditas nir-kayu dari tanaman MPTS yang ditanam tanpa melakukan penebangan pohon (Indriyanto dan Asmarahman, 2019). Menurut Qurniati et al., (2017) dalam penelitiannya bahwa tanaman Multi Purpose Trees Species (MPTS) mampu memberikan pendapatan dalam jangka panjang karena tanaman jenis ini hanya dapat dipanen satu tahun sekali, sedangkan tanaman perkebunan dan pertanian merupakan jenis tanaman yang mampu memberikan pendapatan dalam jangka pendek. Menurut Wanderi (2019) Jenis tanaman MPTS banyak dikembangkan masyarakat karena jenis-jenis tanaman tersebut dapat menghasilkan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Dengan adanya startegi pemilihan jenis tanaman berupa MPTS pada kegiatan RHL maka hasil hutan yang akan di dapat petani lebih beragam dan memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat desa hutan.

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Dewi, Indah Novita. 2019. Kemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan

Dan Program Perhutanan Sosial. Info Teknis Eboni. 15(2) : 65 – 77

Hermawan, Yudi., Sri Sulastri., Niniek Dyah Kusumawardani. 2016. Keberhasilan Kelompok Tani Dalam Program Rehabilitasi Hutan Dan Lahan. Konservasi Sumberdaya Hutan Jurnal Ilmu Ilmu Kehutanan. 1(1) :  61 – 68

Indriyanto., Asmarahman.. 2019. Jenis Tanaman Penyusun Tegakan Sebagai Sumber Pangan Di Areal Garapan Petani Gabungan Kpph Sumber Agung Dalam Taman Hutan

Raya Wan Abdul Rachman. Seminar Nasional PBI. Universitas Lampung

Qurniati R., Febryano Ig., Dan Zulfiani D. 2017. How Trust Influence Social Capital To Support Collective Action In Agroforestry Development? Jurnal Biodiversitas. 18(3): 1201-1206.

Suyanto S, Dan N. Khususiyah. 2006. Imbalan Jasa Lingkungan Untuk Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Agro Ekonomi. 24(1) : 95-113.

Wanderi, Rommy Qurniati., Hari Kaskoyo. 2019. Kontribusi Tanaman Agroforestri Terhadap Pendapatan Dan Kesejahteraan Petani. Jurnal Sylva Lestari . 7(1) (118-127)

Mengenal Pasukan Pengendali Api Hutan Indonesia “Manggala Agni”

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di Dunia dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, termasuk kekayaan hutan. Tutupan lahan hutan di Indonesia hampir bisa dirasakan di setiap wilayah Indonesia dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat mengagumkan. Sutoyo, 2010 dalam jurnalnya menuliskan bahwa Indonesia merupakan tempat tinggal bagi flora dan fauna yang spektakuler dan unik, meskipun daratan Indonesia hanya seluas 1,3% dari total daratan di Bumi, Indonesia memiliki kekayaan yang mengagumkan seperti 10% spesies bunga di dunia, 12% spesies mamalia dunia, 16% dari seluruh spesies reptile dan amfibi, dan 17% dari seluruh spesies burung. Tingkat endemis flora dan dauna di Indonesia tergolong sangat tinggi dan masih banyak pulau terisolir sehingga memungkinkan terjadinya proses evolusi. Faktanya, Sebagian besar kekayaan tersebut tersimpan di dalam hutan Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.

Hutan Indonesia selain menyimpan kekayaan flora dan fauna juga berperan penting dalam kehidupan di muka Bumi. Hutan berfungsi sebagai sumber cadangan energi bumi, pengendali cuaca, serta pengatur siklus air. Bahkan dewasa ini kita mengenal adanya carbon trading atau perdagangan karbon sebagai usaha untuk menekan laju emisi karbon yang ada di atmosfer, dan hutan Indonesia tentu berperan penting sebagai salah satu subyek yang mampu menyerap emisis kerbon tersebut (Irama, 2020).

Kekayaan alam yang melimpah di Indonesia faktanya akan menjadi pisau bermata dua, di satu sisi memberikan kekayaan yang melimpah, dan di sisi lain akan menimbulkan musibah jika kita lalai dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Salah satu focus bencana yang terjadi di Indonesia adalah kebakaran hutan, kebakaran hutan menjadi masalah yang terus terulang hampir disetiap tahun pada musim kemarau.  Oleh sebab itu diperlukan adanya usaha perlindungan hutan di Indonesia. Salah satu usaha tersebut tertuang pada UU No 41 Pasal 47 Tahun 1999 tentang kehutanan. Berdasarkan undang-undang tersebut, perlindungan hutan salah satunya adalah membatasi dan mencegah kerusakan hutan akibat kebakaran serta kejadian kebakaran hutan setiap tahunnya merupakan ancaman yang harus segera diselesaikan, maka Departemen Kehutanan membentuk manggala Agni.

 

Daftar Pustaka

Irama, Ade Bebi., 2020. Perdagangan Karbon di Indonesia: Kajian Kelembagaan dan Keuangan Negara. INRO ARTHA, 4(01) hal: 83-102.

Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Sutoyo., 2010. Keanekaragama Hayati Indonesia, Suatu Tinjauan: Maslaah dan Pemecahannya. Buana Sains, 10(02) hal :101-106.

PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM)

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat atau disebut dengan PHBM adalah salah satu program dari Perum Perhutani yang bertujuan untuk mengelola sumber daya hutan dengan bekerja sama bersama masyarakat Desa Hutan. Dasar hukum dari PHBM itu sendiri adalah Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No.136/KPTS/DIR/2001. Namun, seiring berjalanya waktu terdapat sedikit penyempurnaan lagi melalui Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 682/KPTS/DIR/2009 bulan Juni. 2009 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM PLUS) merupakan suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang bersifat fleksibel, partisipatif, akomodatif, mempunyai prinsip bersama, berdaya, berbagi, dan transparan (Bagaskara, 2021). Kegiatan yang dilakukan diantaranya perencanaan pengelolaan SDH, pemanfaatan SDH dan kawasan hutan, juga perlindungan kelestarian SDH.

Program PHBM dibentuk dengan alasan karena keterlibatan masyarakat yang belum jelas dalam proses pengelolaan hutan. Bahkan terkadang antar stakeholders pengelola hutan memiliki konflik internal yang membuat pengelolaan hutan menjadi tidak maksimal. Akibatnya, hutan menjadi tidak terkelola dengan benar dan tidak terawat kelestarianya. Selain itu, banyak juga dari masyarakat yang merasa dirinya tidak memiliki wewenang atau hak dalam proses pengelolaan SDH dalam kawasan hutan tersebut. Sehingga masyarakat enggan untuk membatu proses pengelolaan hutan tersebut. Oleh karena itu, merujuk pada Peraturan No. 39 tahun 2017 dari KLHK menerbitkan peraturan bahwa masyarakat akan diberikan jangka waktu akses legal untuk mengeola kawasan hutan selama 35 tahun, dan akan di perpanjang setelah dilakukan evaluasi setiap 5 tahun sekali. Insentif dari pengelolan SDH tersebut juga dibagi hasil antara masyarakat dan Perum Perhutani.

Program PHBM memiliki indikator-indikator keberhasilan dalam proses pelaksanaanya. Hal ini dikarenakan PHBM ini melibatkan banyak stakeholders yang mana setiap stakeholders tersebut memiliki tujuan dan dasar pengelolaan mereka masing-masing. Sehingga dengan dibuatnya indikator keberhasilan ini harapanya proses pengelolaan hutanya menjadi lebih jelas dan terarah (San Afri, 2008). Alasan lain terbentuknya PHBM adalah karena terdapat banyak protes atau kritikan terhadap pemerintahan (Perhutani), akhirnya membuat Perum Perhutani menciptakan Program PHBM yang bekerjasama langsung dengan masyarakat dalam wadah LMDH. Program PHBM ini harapanya dapat dujadikan tombak akhir dari strategi pengelolaan hutan bersama dan dianggap sebagai langkah terbaik dari paradigma CBFM (Community Based Forest Management), dimana sebelumnya pengelolaan hutan dinilai hanya menguntungkan perusahaan atau pemerintah saja tanpa mementingkan masyarakat. Namun, dengan adanya Program PHBM ini harapanya persepsi masyarakat dapat berubah dan dapat aktif berpartisipasi dalam Program PHBM ini.

Tujuan utama dari Program PHBM adalah untuk mewujudkan kelestarian hutan dengan tetap dapat memnfaatkan SDH-nya secara maksimal dan efisien, tujuan tersebut juga bisa menjadi salah satu cara untuk memperoleh kelestarian perusahaan. Perusahaan yang lestari dapat dijadikan sebagai penyangga kehidupan (life support system). Selain itu, hutan juga dapat dijadikan sebagai penyangga kehidupan dengan memberikan pangan dan energi, juga dapat mengembangkan usaha produktif masyarakat dengan mengelola hutan bersama (Kurniawan, 2016).

Daftar Pustaka

Bagaskara, F., & Tridakusumah, A. C. (2021). DINAMIKA PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (Studi Kasus Lmdh Tani Mukti Giri Jaya, Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung). Mimbar Agribisnis: Jurnal Pemikiran Masyarakat Ilmiah Berwawasan Agribisnis, 7(1), 805-823.

Kurniawan, A. (2016). Implementasi Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Di Kawasan Kph Telawa (Studi Kasus Di LMDH Sumber Rejeki, Makmur Sejati, Trubus Lestari Dan Yosowono). Unnes.

San Afri, A. (2008). Lembaga Masyarakat Desa Hutan ( Lmdh ). Jakarta: Harapan Prima.

Forest Bathing Sebagai Solusi Kesehatan Mental

Pandemi COVID-19 telah memaksa pemerintah membuat kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat” untuk waktu yang cukup lama. Kebijakan tersebut tentu akan mempengaruhi kehidupan manusia karena terbatasinya kegiatan sehari-hari yang menunjang pekerjaan bahkan kesehatan. Pemberitaan mengenai permasalahan ekonomi karena kebijakan PPKM seakan sudah menjadi makanan sehari-hari kita yang dapat dengan mudah ditemukan pada portal berita, sosial media atau sekedar berita dari mulut ke mulut. Selain permasalahan ekonomi ada permasalahan lain yang juga menjadi perhatian berbagai media dan golongan, yaitu permasalahan kesehatan utamanya berkaitan dengan Kesehatan mental. Pada masa pandemic seperti ini permasalahan kesehatan mental bisa menyerang siapa saja tanpa terkecuali, sehingga solusi atas permasalahan ini tentu sangat dibutuhkan saat ini.

Puji Syukur kondisi pandemic di Indonesia saat ini mulai membaik dan semoga terus membaik, membuat beberapa kebijakan pembatasan seperti PPKM telah turun level pada beberapa wilayah. Penurunan level pembatasan ini memberikan kita sedikit kelonggaran bagi kita untuk bisa memulihkan kondisi, salah satunya dari permasalahan Kesehatan mental. Namun tentu tetap ada beberapa batasan bagi kita dalam melakukan kegiatan pemulihan kondisi tersebut, misalnya dengan tetap memperhatikan protocol Kesehatan, menghindari kontak dan kerumuman serta mengurangi durasi dalam ruangan tertutup. Lalu adakah ada jenis kegiatan untuk melepas jenuh dan memperbaiki Kesehatan mental bagi kita, namun tetap memperhatikan batasan tersebut? Mari berkenalan dengan forest bathing.

Forest bathing adalah suatu kegiatan alam yang bertujuan untuk menyegarkan tubuh secara emosional dengan cara menyinkronkan ritme kita dengan alam terbuka. Seperti namanya, forest bathing yang apabila diterjemahkan menjadi “mandi hutan” merupakan kegiatan berupa menikmati hutan dengan cara berjalan kaki mengelilinginya dan menikmati apa yang ada di hutan tersebut. Kegiatan forest bathing ini dapat dilakukan secara individual maupun berkelompok (Firdhani, 2018 dalam Rahmawati, 2019). Menurut Chen, dkk (2018) dalam Rahmawati (2019) forest bathing dikatakan dapat menurunkan mood negative seperti ketegangan, kemarahan, kelelahan dan juga secara signifikan mengurangi level kecemasan kita. Tentu hal tersebut sangat relevan dengan kondisi mental kita selama masa pandemi ini.

Sebenarnya forest bathing dapat juga dilakukan selain di hutan, misalnya pada ruang terbuka hijau yang jauh dari kebisingan. Namun saat ini ruang terbuka hijau di perkotaan sudah semakin sempit dan tentu karena kepadatan penduduk yang bertambah, kebisingan kegiatan manusia tidak dapat dihindari. Saat ini hutan tetap menjadi satu-satunya pilihan paling efektif untuk kita dapat melakukan forest bathing.

Istilah forest bathing pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Qing Li, pada bukunya yang berjudul “Shirin-Yoku: The Art and Science of Forest Bathing”. Berdasarkan buku dari Dr. Qing tersebut diketahui bahwa nama forest bathing ternyata berasal dari istilah jepang yaitu “Shirin-Yoku”. Dokter Qing Li merupakan salah satu dokter fakultas Kedokteran Nippon Medical School, Tokyo dan beliau juga merupakan presiden komunitas terapi Jepang. Tidak lama setelah menulis buku tersebut, tepatnya pada tahun 1982, Dr. Qing LI juga terlibat dalam program Kesehatan Nasional yang dibuat oleh pemerintah Jepang melalui Badan Kehutanan Jepang. Program ini nantinya akan melatarbelakangi berdirinya Japanese Society of Forest Therapy.

Program Kesehatan nasional yang diadakan pada tahun 1982, sebenarnya belum memiliki bukti secara medis, namun akhirnya pada tahun 2004, kementrian pertanian, kehutanan dan perikanan Jepang memulai sebuah penelitian untuk menelidiki efek terapeutik hutan terhadap Kesehatan manusia dari sudut pandang ilmiah, dan forest bathing terbukti secara ilmiah dapat meningkatkan Kesehatan baik fisik maupun mental, salah satunya dengan mengurangi stress. Forest bathing terus berkembang hingga saat ini, termasuk juga pendekatan inovasi sejenisnya misalnya dengan membuat greenways di sekitar kantor. Sempat diteliti oleh Universitas Harvard melalui survei kepada 100.000 suster dan dihasilkan bahwa melalui pendekatan forest-bathing dengan model greenways membuat tingkat kematian lebih rendah mencapai 12% dari sebelumnya (David, 2019).

Forest-bathing sampai saat ini pun masih menjadi rekomendasi banyak dokter-dokter untuk meredakan stress dan depressi. Terlihat jelas bahwa hutan selain memiliki fungsi dalam menjaga Kesehatan lingkungan, secara langsung juga dapat berperan dalam menjaga Kesehatan manusia. Sehingga sudah seharusnya kita harus mulai menjaga kelestarian hutan tanpa bertanya-tanya kembali mengenai umpan balik yang akan kita dapatkan dari menjaga hutan untuk tetap lestari.

Pustaka:

David, R.E. and Purnama, L., PENANGGULANGAN ISU WIRAUSAHA DI INDONESIA DENGAN PEMBANGUNAN KOMUNITAS KRIYA JATINEGARA. Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa), 1(2), pp.793-806.

Rahmawati, W., 2019. Forest Bathing: Solusi Alami Atasi Masalah Kesehatan Mental. Buletin Jagaddhita, 1(1), pp.1-3.

Mengenal Sejarah Kepolisian Hutan

Keamanan dan ketertiban adalah dua hal penting yang harus dijaga sebagai kunci kedamaian dan keseimbangan hidup, karena itulah dalam pengaturan kehidupan suatu wilayah akan dibentuk badan khusus untuk menjaga kedua hal tersebut, misalnya dengan pembentukan Polisi. Selayaknya wilayah Indonesia yang mempunyai POLRI, wilayah hutan juga mempunyai satuan kepolisian yang disebut POLHUT (Polisi Hutan). Menurut UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan pada pasal 1 ayat 15 pengertian polisi kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi Kehutanan pusat dan/atau daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam  hayati dan ekosistemnya yang berada dalam kesatuan komando.

Meski kurang dikenal dalam masyarakat namun sebenarnya polisi hutan telah mempunyai sejarah yang cukup panjang. Sejak zaman kerajaan, sebenarnya telah dikenal pembagian tugas dan fungsi yang berkaitan dengan perlindungan hutan, namun tugas dan fungsi tersebut masih tersirat dalam kaidah-kaidah hukum adat dan kearifan lokal turun-temurun yang berkaitan dengan perlindungan alam. Istilah polisi kehutanan baru mulai dikenal saat pendudukan Belanda tepatnya pada tahun 1870, saat dikeluarkannya Peraturan Agraria yang mengatur tentang penentuan kawasan hutan dan penentuan pejabat yang bertugas mengawasi pelanggaran batas hutan, dan 10 tahun setelah dikeluarkannya peraturan tersebut, tepatnya pada tahun 1870 secara resmi dibentuk Organisasi Polisi Kehutanan. Pada masa pendudukan Belanda dikenal 2 pejabat utama berkaitan dengan keamanan hutan yang dipisahkan menurut wewenangnya, yaitu pejabat perlidungan hutan yang diberi wewenang perlindungan hutan secara umum dan Pejabat Polisi Kehutanan yang secara khusus diberi wewenang dalam melaksanakan fungsi kepolisian khusus di bidang kehutanan (Ridholof, 2016).

Selanjutanya pada masa kependudukan Jepang, saat itu dikeluarkan kebijakan untuk menutup semua sekolah yang didirikan Belanda, termasuk sekolah yang berkaitan dengan kehutanan, namun pada Oktober 1943, kembali didirikan sekolah untuk mendidik Mantri Polisi Kehutanan. Kemudian berlanjut pada masa setelah kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1960 terbentuk Polisis Chusus Kehutanan (PCK) hasil kerja sama antara Direktur I Perum Perhutani Jawa Tengah dengan komandan Inspeksi Kepolisian 94 Pati (Ridholof, 2016). Hingga saat ini Polisi Hutan terus mengalami perkembangan dan kemajuan, bahkan terbentuk satuan khususnya yang disebut SPORC.

Selayaknya Polisi yang mempunyai Brimob, TNI AD yang mempunyai Kopassus, Kepolisian hutan juga mempunyai satuan khusus yang disebut dengan SPORC (Satuan Polhut Reaksi Cepat). Menurut Peraturan Direktur Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P4/PHLHK/SET/SET.1/6/2017 tentang Kartu Tanda Anggota Satuan Polhut Reaksi Cepat, pengertian SPORC adalah kesatuan khusus yang dibentuk dalam lingkup kepolisian kehutanan yang tergabung dalam satuan brigade. Apda Peraturan tersebut dijelaskan juga bahwa anggota SPORC adalah Polisi kehutanan yang diseleksi, ditingkatkan kualifikasi personalnya dan diangkat oleh pejabat yang berwenang sebagai anggota SPORC.

Cikal bakal SPORC terbentuk pada tahun 2002, setelah diadakannya Apel Siaga Polisi Kehutanan Dan Seminar Penanganan Gangguan Keamanan Hutan Bertempat Di Cagar Alam Kamojang, Garut, Jawa Barat. Pada kegiatan tersebut dihasilkan “Deklarasi Kamojang” yang salah satu isinya adalah perlunya pembentukan Satuan Tugas Khusus Polhut untuk mencegah dan menanggulangi berbagai gangguan keamanan hutan yang terjadi di Jawa Bagian Barat. Nama SPORC resmi dikenal pada tahun 2005 setelah adanya beberapa kali pertemuan oleh Direktorat PPH DITJEN PHKA.

Pada tahun 2016 Sesuai Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 658/MENLHK/SETJEN/SET.1/8/2016 Tentang Pembentukan Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat, terdapat total 16 Brigade SPORC, antara lain: Brigade Macan Tutul (Sumatera Utara), Brigade Beruang Di Pekanbaru (Riau), Brigade Siamang (Sumatera Selatan), Brigade Harimau (Jambi), Brigade Elang (DKI Jakarta), Brigade Banteng di Surabaya (Jawa Timur), Brigade Komodo Di Kupang (NTT), Brigade Bekantan Di Pontianak (Kalimantan Barat), Brigade Kalawait Di Palangkaraya (Kalimantan Tengah), Brigade Enggang Di Samarinda (Kalimantan Timur), Brigade Anoa Di Makassar (Sulawesi Selatan), Brigade Maleo Di Palu (Sulawesi Tengah), Brigade Kera Hitam Di Manado (Sulawesi Utara), Brigade Kakatua (Ambon), Brigade Kasuari di Manokwari (Papua Barat), dan Brigade Kanguru Di Jayapura (Papua).

 

Referensi:

https://sulawesi.gakkum.menlhk.go.id/index.php/2020/01/03/sejarah-terbentuknya-sporc/

Peraturan Direktur Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P4/PHLHK/SET/SET.1/6/2017 tentang Kartu Tanda Anggota Satuan Polhut Reaksi Cepat.

Republik Indonesia. 2013. UNdang-Undang No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Ridholof, H., 2016. Kewenangan Polisi Kehutanan dalam Bidang Perlindungan Hutan pada Pemerintah Daerah di Sulawesi Tengah. Katalogis, 4(5).

 

 

 

Sekilas tentang Jejak Karbon (carbon footprint)

Perubahan iklim telah menjadi penyebab utama bencana yang terjadi hampir di seluruh negara di dunia. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan salah satu bencana yang terjadi akibat perubahan iklim tersebut. Bencana ini sering terjadi secara bersamaan di kawasan Eropa pada saat musim panas, disebabkan karena suhu yang ekstrim dapat memperparah bencana karhutla. Seringnya terdengar kabar kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di berbagai negara merupakan penanda bahwa krisis iklim memang perlu mendapatkan perhatian.

Perubahan iklim terjadi akibat emisi gas rumah kaca yang meningkat. Konsentrasi gas rumah kaca yang meningkat disebabkan sebagian besar oleh faktor antropogenik, yakni karena ulah manusia. Hampir seluruh kegiatan manusia berkontribusi terhadap kenaikan emisi gas rumah kaca, seperti penggunaan sumber energi dari bahan bakar fosil. Pembakaran bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan energi berkontribusi terhadap hampir 2/3 emisi gas rumah kaca secara global. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa kegiatan manusia mempercepat kenaikan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Gas rumah kaca memiliki kemampuan menyerap radiasi sinar matahari yang dipantulkan oleh bumi maupun yang datang dari luar angkasa sehingga menyebabkan peningkatan suhu di bumi. Temperatur bumi yang meningkat akan memengaruhi kondisi cuaca, seperti kekuatan angin dan intensitas hujan. Selain itu, gas rumah kaca yang berlebihan juga dapat bersifat racun.

Penyumbang emisi terbesar dalam gas rumah kaca adalah karbon. Saat ini, konsentrasi CO2 di atmosfer merupakan yang paling dominan dari semua efek gas rumah kaca yang ada di atmosfer (Setiawan, 2010). Seperti yang sudah dibahas diawal, setiap orang dalam aktivitas sehari-harinya akan menghasilkan emisi gas rumah kaca, utamanya karbon dioksida (CO2). Tanpa disadari, hampir semua hal yang kita lakukan akan menghasilkan carbon footprint. Semakin banyak aktivitas manusia, maka semakin banyak energi yang digunakan sehingga menyebabkan carbon footprint semakin besar. (Rahayu, 2011).

Jejak karbon atau carbon footprint merupakan ukuran jumlah total dari karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya yang diemisikan oleh suatu komunitas, populasi, sistem kerja, maupun pribadi. Cakupan yang termasuk didalamnya yakni analisis dari sumber pencemar, simpanan spasial serta temporal pada populasi maupun aktivitas. Jejak karbon dapat dihitung sebagai karbon dioksida ekuivalen menggunakan 100 years Global Warming Potential (GWP 100) dan dinyatakan dalam satuan ton karbon atau ton karbon dioksida ekuivalen. Jejak karbon yang dihasilkan akan berdampak negatif bagi kehidupan di bumi, selain bencana alam dan cuaca ekstrim, jejak karbon juga mengakibatkan perubahan produksi rantai makanan dan sumber air bersih berkurang. Semakin tinggi jejak karbon yang ada di bumi, tidak hanya menyebabkan rusaknya lingkungan, tapi juga dapat memperburuk tingkat kesehatan manusia. Oleh karena itu, mengurangi jejak karbon akan membantu memperlambat proses pemanasan global yang saat ini sudah mulai terjadi. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh Wynes dan Nicholas (2017), tindakan yang direkomendasikan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca pada tingkat individu antara lain, hidup bebas kendaraan bermotor, menghindari perjalanan pesawat, dan makan makanan nabati. Rekomendasi tersebut cukup masuk akal, sebab penerbangan dari Los Angeles menuju Hong Kong dan sebaliknya saja dapat menghasilkan lebih dari 4.000 kilogram karbon dioksida ekuivalen.

Jejak karbon beserta proses estimasi dengan perhitungan merupakan hal yang tidak mudah,  namun tetap perlu dilaksanakan untuk memahami dampak yang telah dihasilkan oleh kegiatan masing-masing pihak. Hal ini diperparah dengan kondisi iklim di bumi semakin mengkhawatirkan seiring waktu yang bertambah. Mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas sehari-hari diharapkan dapat memunculkan kesadaran untuk terus mengurangi jejak karbon yang dihasilkan, baik melalui penghijauan maupun dengan pengurangan emisi karbon (Wright, et al. 2011).

 

Referensi:

Institute for Essential Service Reform. Tentang Jejak Karbon. http://www.iesr.or.id/kkv3/tentang-jejak-karbon/. Diakses pada 22 Agustus 2021

Prihatmaji, Y.P., Fauzy, A., Rais, S. dan Firdaus, F. 2016. Analisis Carbon Footprint Gedung Perpustakaan Pusat, Rektorat, dan Lab. Mipa Uii Berbasis Vegetasi Eksisting Sebagai Pereduksi Emisi Gas Rumah Kaca. Asian Journal of Innovation and Entrepreneurship, 1(2), pp.148-155.

Putri, Nina Hertiwi. 2021. Dampak Carbon Footprint alias Jejak Karbon pada Kesehatan dan Lingkungan. https://www.sehatq.com/artikel/dampak-carbon-footprint-alias-jejak-karbon-pada-kesehatan-dan-lingkungan. Diakses pada 22 Agustus 2021

Rahayu, M. 2011. Hutang Karbon dan Isu Pemanasan Global. http://www.carbondioksida. com/berita.php?pil=Hutang+Karbon+dan+Isu+Pemanasan+Global&dn =2011063051316. Diakses pada tanggal 4 september 2015.

Setiawan, R. Y. 2010. Kajian Carbon Footprint Dari Kegiatan Industri Di Kota Surabaya. J. Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya. Surabaya.

Utami, Siti Fadhillah (n.d). Apa itu jejak karbon? https://zerowaste.id/knowledge/apa-itu-jejak-karbon/. Diakses pada 22 Agustus 2021.

Wright, L., Kemp, S., Williams, I. .2011.’Carbon footprinting’: towards a universally accepted definition. Carbon Management, 2 (1): 61-72.

Wynes, Seth. 2020. “Carbon Footprints are Hard to Understand—here’s what you need to know”. https://theconversation.com/carbon-footprints-are-hard-to-understand-heres-what-you-need-to-know-144317/. Diakses pada 24 Agustus 2021

Wynes, Seth and Kimberly A. Nicholas. 2017. The Climate Mitigation Gap: Education and Government Recommendations Miss the Most Effective Individual Actions. Environmental Research Letters Vol. 12 No. 7

[MH PEDIA] Mengenal Hutan Mangrove

Indonesia adalah negara maritim sekaligus negara kepulauan dengan luasan pantai yang begitu besar. Suatu keharusan bagi kita  untuk mengetahui dan mempelajari ekosistem hutan pantai demi dapat menjaga kelestariannya. Pada umumnya hutan pantai di Indonesia terdiri atas 3 tipe ekosistem, yaitu hutan pantai formasi pescaprae, baringtonia dan hutan mangrove (Sugiarto dan Ekariyono, 2003 dalam Mardianto, 2020). Namun jenis hutan yang akan dibahas kali ini adalah hutan mangrove yang mungkin kurang dikenal oleh masyarakat awam, padahal ekosistem mangrove telah menjadi perhatian internasional dibuktikan dengan peringatan hari mangrove sedunia setiap tanggal 26 Juli. Luas hutan mangrove sebenarnya kurang lebih hanya 0.4% dari total luas hutan dunia, namun ekosistem ini memiliki peranan besar sebagai penyerap karbon lebih dari 4 sampai 112 gigaton/tahun. Indonesia sendiri memiliki 75% dari total hutan mangrove di Asia Tenggara (Purnobasuki, 2012).

Sebelum membahas mengenai hutan mangrove, istilah mangrove sendiri diartikan sebagai salah satu jenis individu tumbuhan maupuan komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Kemudian arti mangrove dalam ekologi tumbuhan dipakai dalam penyebutan semak dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika. Tumbuhan mengrove memiliki sifat yang unik karena tumbuhan ini memiliki gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan laut (Mulyadi, 2010). Berdasarkan uraian sebelumnya secara singkat hutan mangrove dapat diartikan sebagai hutan yang tersusun atas komunitas tumbuhan mangrove yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut dan/atau tepi laut. Mulyadi (2010) juga menjelaskan terkadang hutan mangrove sering juga disebut sebagai hutan bakau atau hutan payau. Disebut sebagai hutan bakau karena sebagian besar vegetasi dari komunitas tumbuhan mangrove didominasi oleh jenis bakau, dan akan disebut sebagai hutan payau karena hutan ini tumbuh di pada tanah yang selalu tergenang air payau.

Hutan mangrove memiliki banyak fungsi ekologi penting, dari aspek fisik, kimia maupun biologi. Fungsi ekologi dari aspek fisik antara lain sebagai penahan abrasi, penahan angin/badai, penahan banjir dan sebagai kawasan penyangga proses intrusi air laut ke darat atau sebagai filter air asin menjadi tawar. Selanjutnya dari aspek kimia hutan mangrove dapat berperan sebagai penyerap bahan pencemar, pensuplai bahan-bahan organik bagi lingkungan perairan dan sebagai tempat terjadinya terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen dan menyerap karbon dioksida. Kemudian dari aspek biologi hutan mangrove memiliki peranan sebagai penghasil bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi invertebrata kecil disekitarnya, dan invertebrate ini merupakan sumber makanan bagi hewan yang lebih besar. Selain itu ekosistem hutan mangrove juga kerap menjadi tempat tumbuh biota laut saat kecil sebelum akhirnya kembali ke laut (Warpur, 2016).

 

Pustaka

Mardianto, S. and Andini, A.S., 2020. IDENTIFIKASI TUMBUHAN HERBA DI PANTAI TELUK SEPI, PULAU LOMBOK. LOMBOK JOURNAL OF SCIENCE, 2(1), pp.16-19.

Mulyadi, E., Hendriyanto, O. and Fitriani, N., 2010. Konservasi hutan mangrove sebagai ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan, 2(1), pp.11-18.

Purnobasuki, H., 2012. Pemanfaatan hutan mangrove sebagai penyimpan karbon. Buletin PSL Universitas Surabaya, 28(3-5), pp.1-6.

Warpur, M., 2016. Struktur vegetasi hutan mangrove dan pemanfaatannya di kampung Ababiaidi Distrik Supiori Selatan Kabupaten Supiori. Jurnal Biodjati, 1(1), pp.19-26.

KONTROVERSI UU CIPTAKER MENGENAI PENGHAPUSAN BATAS MINIMAL KAWASAN HUTAN SEBESAR 30 PERSEN

UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang belum lama ini disahkan membahas salah satu substansi yang cukup menarik dan banyak diperdebatkan, yaitu mengenai revisi UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan tepatnya pada pada pasal 18 ayat 2 yaitu penghapusan batas minimal kawasan hutan 30 persen. Bagian yang paling menarik sebenarnya adalah angka 30 persen dan bagi orang awam pasti menjadi pertanyaan, seperti dari manakah sebenarnya asal-usul angka 30 persen tersebut? Sebagian besar berpendapat angka ini merupakan adopsi dari pemerintahan Hindia Belanda dan dulu banyak pihak berpendapat angka 30 persen ini tepat untuk menentukan luasan minimum kawasan hutan. Angka ini kemudian dijadikan kurikulum pendidikan di berbagai pendidikan khususnya perguruan tinggi, menjadi sebuah rujukan dalam mengambil kebijakan politik, dan menjadi dasar sebagai diskusi maupun artikel ilmiah. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai sejarah dari ketentuan luas minal kawasan hutan 30 persen,ada 3 istilah penting yang perlu kita perhatikan yaitu: hutan, kawasan hutan, dan angka 30 persen.

Menurut FAO hutan adalah sebagai suatu lahan dengan ciri: (1) Luasan lebih dari 0,5 hektare; (2) Ditumbuhi pepohonan yang tingginya lebih dari 5 meter; dan (3) Penutupan tajuk lebih dari 10 persen atau pohon-pohon yang mencapai ambang batas tersebut di alam setempat. Meski kriteria dari FAO ini sudah cukup jelas, setiap lima tahun FAO juga memberikan perubahan yang turut mempengaruhi kondisi sosial, ekonomi, dan politik di berbagai negara. Pengertian hutan sendiri memiliki arti yang berbeda-beda tergantung dari sudut pandang mana hutan tersebut dilihat, sehingga pengertian hutan sediri bersifat multi definisi, multi tafsir, dan multi kriteria. Di Indonesia, definisi dan kriteria tentang hutan bahkan hingga kini masih menjadi perdebatan. Namun rujukan yang yang resmi dan sah adalah UU No.41 tahun 1999, yang menjelaskan pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Indonesia memiliki luas wilayah daratan sekitar 190 juta hektare. Dari luas wilayah daratan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu kawasan non-hutan dan kawasan hutan. Kemudian kawasan hutan terbagi menjadi beberapa fungsi pokok yaitu hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi. Luas dari hutan lindung adalah 29 juta ha, hutan konservasi seluas 22 juta ha, sedangkan hutan produksi terbagi lagi menjadi 3 yaitu: hutan produksi terbatas seluas 26 juta ha, hutan produksi 29 juta ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 12 juta ha (KLHK, 2018).

Setelah ditelusuri, angka 30 persen dibahas oleh ahli kehutanan dalam artikel Davis dan Robbins pada tahun 2018 yang berjudul “Ecologies of the colonial present: Pathological forestry from the taux de boisement to civilized plantations”, dijjelaskan pada buku tersebut bahwa salah satu ide terpenting ilmu kehutanan pada abad ke 18 adalah ajaran taux de boisement. Pada prinsipnya, konsep ini digunakan untuk menentukan persentase tutupan hutan atau koefisien luas hutan di suatu wilayah atau negara. Peyempurnaan luas minimal hutan sebesar 30 persen sudah dibahas sejak abad ke 18 dan terus menyebar dan diakui oleh kalangan rimbawan Eropa pada awal abad ke 20. Para rimbawan Eropa juga merasa bahwa konsep 30 persen ini perlu direplikasi di negara jajahannya dengan harapan negara jajahan tersebut dapat meniru negara-negara Eropa yang saat itu dianggap sebagai pusat peradaban.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sekitar awal abad 20, seorang ahli kehutanan, Professor Dr. Ir. Van Arstson, mengadopsi angka 30 persen dalam pengelolaan hutan di Jawa. Menurutnya sekitar 30 persen wilayah daratan pulau Jawa seharusnya memiliki tutupan berupa hutan. Kemudian saat Indonesia sudah merdeka, angka minimal hutan 30 persen ditetapkan dalam peraturan perundangan, yaitu Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967. Sebenarnya peraturan ini pernah direvisi pada era reformasi, namun angka 30 persen kembali muncul pada Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Berdasarkan uraian di atas sebenarnya memang perlu dilihat lagi mengapa angka 30 persen ini dihapus, Meski dari segi teknokratis atau teknis memungkinkan untuk menghitung luas kawasan hutan minimal, namun sebuah kebijakan juga mempertimbangkan aspek lain seperti faktor legalitas dan faktor politis. Pengambil keputusan pun akan memikirkan matang-matang demi kepentingan pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat (Widiaryanto,2020). Jika melihat gambaran yang telah dibahas sebelumnya, maka jika melihat dari aspek sejarah angka 30 persen adalah sebuah praktik dari doktrin pemerintahan Hindia-Belanda. Penetapan angka 30 persen tersebut muncul di masa lalu dan kurang relevan untuk diterapkan di masa sekarang, disisi lain juga tidak sesuai dengan kajian ilmiah dan kondisi lapangan. Untuk itu penetapan luasan kawasan hutan di wilayah daerah harus ditinjau kembali variabel-variabel lain yang dapat menentukann angka minumun dari luasan kawasan hutan di sebuah wilayah.

Konsekuensi dari penghapusan angka 30 persen kawasan hutan, antara lain Bagi provinsi dengan kawasan hutan dengan luas dibawah 30 persen harus membeli lahan untuk dijadikan kawasan hutan sebagai pengganti, bagi provinsi dengan kawasan hutan diatas 30 persen akan memicu menurunkannya menjadi 30 persen, bagi provinsi dengan kawasan hutan diambang atau di bawah 30 persen, cenderung tidak mau menyelesaikan masalah tenurial/penguasaan tanah dalam kawasan hutan, dan jika terdapat kawasan hutan yang kondisi sudah tidak berhutan dan digarap/dimanfaatkan oleh masyarakat.

 

Referensi :

Davis, D.K. and Robbins, P., 2018. Ecologies of the colonial present: Pathological forestry from the taux de boisement to civilized plantations. Environment and Planning E: Nature and Space, 1(4), pp.447-469.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Widiaryanto, P. 2020. Rasionalitas Kebijakan Konsepsi Hutan dan Penghapusan Batas Minimal Kawasan Hutan 30 Persen. Gema Publica: Jurnal Manajemen dan Kebijakan Publik, 5(2), pp.140-155.

 

[MH PEDIA] Deforestasi dan Penegakan Hukum di Indonesia

Indonesia mengalami perubahan tutupan dan kondisi hutan secara drastis dimulai pada tahun tahun 1970an. Perubahan ini dipicu akibat deforestasi dan degradasi hutan yang tidak terkendali sebagai dampak atas kebijakan promosi industry kayu Indonesia di kancah Internasional. Kebijakan tersebut mengarah pada praktik industri hasil hutan kayu yang hanya mengolah kayu  bulat berkualitas tinggi dan meninggalkan limbah kayu  yang sangat besar di hutan. Hal ini mendorong eksploitasi yang berlebihan dengan tujuan  untuk memperoleh lebih  banyak pohon dewasa yang dapat menyebabkan gangguan lebih  lanjut pada hutan sekunder. Kebijakan ini bahkan semakin diperparah dengan prosedur monitoring dan evaluasi yang tidak ada. Peraturan kehutanan Indonesia juga tidak menetapkan sanksi hukum yang konkrit terhadap kejahatan kehutanan.

Tahun 1990an hutan Indonesia mulai dikembangkan kearah hutan tanaman untuk menjaga pasokan kayu dan mendukung Indonesia dalam perkembangan industry di bidang pengolahan pulp dan kertas. Pengembangan hutan tanaman juga memiliki kontribusi terhadap deforestasi karena dilakukan pada hutan dengan memanfaatkan pada areal yang tidak produktif menjadi hutan produksi, padahal lahan tersebut sebenarnya masih bisa dihutankan kembali. Konsesi diizinkan untuk memanen (tebang habis) dan menjual semua kayu  terlepas dari  ukuran pohon atau spesies dari  area yang ditentukan. Selain hutan tanaman, kelapa sawit juga mulai terindentifikasi sebagai pendorong utama deforestasi. Hal ini ditunjukan bahwa pada  tahun 1990  dan 2010,  total luas perkebunan kelapa sawit meningkat dari  1,1 juta  menjadi 7,8 juta  hektar. (Margono et al, 2014)  Perkembangan kelapa sawit semakin pesat karena didukung oleh negara, permintaan pasar global yang tinggi dan penerapan system desentralisasii yang memberikan wewenang kepada Pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin perkebunan sehingga dalam penerapannya tidak dapat terkendali (Kartodihardjo dan  Supriono, 2000). Salah satu contohnya yaitu ratusan izin yang mencakup hampir empat juta  hektar kawasan hutan di Kalimantan Tengah telah diberikan kepada investor tanpa pelepasan lahan resmi dari  otoritas kehutanan pusat. (Irawan, et al, 2019)

Peraturan di bidang kehutanan  pada awalnya tidak menetapkan sanksi hukum yang konkrit terhadap tindakan kriminal di bidang kehutanan. Hal ini berdampak terhadap penegakan hukum yang lemah dan pemantauan yang tidak memadai yang semakin diperburuk oleh korupsi di antara pejabat di Indonesia. birokrat, partai politik  dan anggota parlemen, tentara bahkan polisi  telah terlibat dalam kegiatan korupsi di bidang hutan, misalnya meminta suap untuk mendapatkan izin, dan mengizinkan ekspor tanpa izin resmi. Perilaku korupsi serupa juga tersebar luas di pengadilan Indonesia, sehingga sangat sedikit kasus yang sampai ke tahap persidangan, dan bahkan lebih  sedikit hukumannya. Pada tahun 2013,  pemerintah menerbitkan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (No. 18/2013). Hal ini bertujuan untuk memperkuat penegakan hukum kehutanan  Pemerintah Indonesia juga membentuk sejumlah lembaga penegakan hukum kehutanan. Di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terdapat Direktorat Jenderal (Ditjen) Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan khusus yang bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi gangguan dan ancaman terhadap hutan serta pelanggaran terhadap hutan dan lingkungan.  Dirjen  mempekerjakan polisi  hutan, dan penyidik pegawai negeri sipil. Penegakan hukum kehutanan yang dilakukan oleh KLHK seringkali terkendala oleh keterbatasan anggaran dan personel. Penegakan hukum di Indonesia harus selalu dievaluasi dan dikembangkan agar menekan kasus kejahatan di bidang kehutanan yang akan mengurangi tingkat deforestasi di Indonesia.

 

Sumber:

Irawan, S., Widiastomo, T., Tacconi, L., Watts, J., dan Steni, B., 2019. Exploring the design of jurisdictional REDD+: the case of Central Kalimantan, Indonesia. For. Pol. Econ.

Kartodihardjo, H., dan  Supriono, A., 2000. The Impact of Sectoral Development on Natural Forest Conversion and Degradation: The Case of Timber and Tree Crop Plantations in Indonesia. Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor.

Margono, B.A., Potapov, P.V., Turubanova, S., Stolle, F.,  dan Hansen, M.C., 2014. Primary forest cover loss in Indonesia over 2000–2012. Nat. Clim. Change 4 (8), 730–735.