Keamanan dan ketertiban adalah dua hal penting yang harus dijaga sebagai kunci kedamaian dan keseimbangan hidup, karena itulah dalam pengaturan kehidupan suatu wilayah akan dibentuk badan khusus untuk menjaga kedua hal tersebut, misalnya dengan pembentukan Polisi. Selayaknya wilayah Indonesia yang mempunyai POLRI, wilayah hutan juga mempunyai satuan kepolisian yang disebut POLHUT (Polisi Hutan). Menurut UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan pada pasal 1 ayat 15 pengertian polisi kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi Kehutanan pusat dan/atau daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada dalam kesatuan komando.
Meski kurang dikenal dalam masyarakat namun sebenarnya polisi hutan telah mempunyai sejarah yang cukup panjang. Sejak zaman kerajaan, sebenarnya telah dikenal pembagian tugas dan fungsi yang berkaitan dengan perlindungan hutan, namun tugas dan fungsi tersebut masih tersirat dalam kaidah-kaidah hukum adat dan kearifan lokal turun-temurun yang berkaitan dengan perlindungan alam. Istilah polisi kehutanan baru mulai dikenal saat pendudukan Belanda tepatnya pada tahun 1870, saat dikeluarkannya Peraturan Agraria yang mengatur tentang penentuan kawasan hutan dan penentuan pejabat yang bertugas mengawasi pelanggaran batas hutan, dan 10 tahun setelah dikeluarkannya peraturan tersebut, tepatnya pada tahun 1870 secara resmi dibentuk Organisasi Polisi Kehutanan. Pada masa pendudukan Belanda dikenal 2 pejabat utama berkaitan dengan keamanan hutan yang dipisahkan menurut wewenangnya, yaitu pejabat perlidungan hutan yang diberi wewenang perlindungan hutan secara umum dan Pejabat Polisi Kehutanan yang secara khusus diberi wewenang dalam melaksanakan fungsi kepolisian khusus di bidang kehutanan (Ridholof, 2016).
Selanjutanya pada masa kependudukan Jepang, saat itu dikeluarkan kebijakan untuk menutup semua sekolah yang didirikan Belanda, termasuk sekolah yang berkaitan dengan kehutanan, namun pada Oktober 1943, kembali didirikan sekolah untuk mendidik Mantri Polisi Kehutanan. Kemudian berlanjut pada masa setelah kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1960 terbentuk Polisis Chusus Kehutanan (PCK) hasil kerja sama antara Direktur I Perum Perhutani Jawa Tengah dengan komandan Inspeksi Kepolisian 94 Pati (Ridholof, 2016). Hingga saat ini Polisi Hutan terus mengalami perkembangan dan kemajuan, bahkan terbentuk satuan khususnya yang disebut SPORC.
Selayaknya Polisi yang mempunyai Brimob, TNI AD yang mempunyai Kopassus, Kepolisian hutan juga mempunyai satuan khusus yang disebut dengan SPORC (Satuan Polhut Reaksi Cepat). Menurut Peraturan Direktur Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P4/PHLHK/SET/SET.1/6/2017 tentang Kartu Tanda Anggota Satuan Polhut Reaksi Cepat, pengertian SPORC adalah kesatuan khusus yang dibentuk dalam lingkup kepolisian kehutanan yang tergabung dalam satuan brigade. Apda Peraturan tersebut dijelaskan juga bahwa anggota SPORC adalah Polisi kehutanan yang diseleksi, ditingkatkan kualifikasi personalnya dan diangkat oleh pejabat yang berwenang sebagai anggota SPORC.
Cikal bakal SPORC terbentuk pada tahun 2002, setelah diadakannya Apel Siaga Polisi Kehutanan Dan Seminar Penanganan Gangguan Keamanan Hutan Bertempat Di Cagar Alam Kamojang, Garut, Jawa Barat. Pada kegiatan tersebut dihasilkan “Deklarasi Kamojang” yang salah satu isinya adalah perlunya pembentukan Satuan Tugas Khusus Polhut untuk mencegah dan menanggulangi berbagai gangguan keamanan hutan yang terjadi di Jawa Bagian Barat. Nama SPORC resmi dikenal pada tahun 2005 setelah adanya beberapa kali pertemuan oleh Direktorat PPH DITJEN PHKA.
Pada tahun 2016 Sesuai Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 658/MENLHK/SETJEN/SET.1/8/2016 Tentang Pembentukan Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat, terdapat total 16 Brigade SPORC, antara lain: Brigade Macan Tutul (Sumatera Utara), Brigade Beruang Di Pekanbaru (Riau), Brigade Siamang (Sumatera Selatan), Brigade Harimau (Jambi), Brigade Elang (DKI Jakarta), Brigade Banteng di Surabaya (Jawa Timur), Brigade Komodo Di Kupang (NTT), Brigade Bekantan Di Pontianak (Kalimantan Barat), Brigade Kalawait Di Palangkaraya (Kalimantan Tengah), Brigade Enggang Di Samarinda (Kalimantan Timur), Brigade Anoa Di Makassar (Sulawesi Selatan), Brigade Maleo Di Palu (Sulawesi Tengah), Brigade Kera Hitam Di Manado (Sulawesi Utara), Brigade Kakatua (Ambon), Brigade Kasuari di Manokwari (Papua Barat), dan Brigade Kanguru Di Jayapura (Papua).
Referensi:
https://sulawesi.gakkum.menlhk.go.id/index.php/2020/01/03/sejarah-terbentuknya-sporc/
Peraturan Direktur Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P4/PHLHK/SET/SET.1/6/2017 tentang Kartu Tanda Anggota Satuan Polhut Reaksi Cepat.
Republik Indonesia. 2013. UNdang-Undang No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Ridholof, H., 2016. Kewenangan Polisi Kehutanan dalam Bidang Perlindungan Hutan pada Pemerintah Daerah di Sulawesi Tengah. Katalogis, 4(5).