Lompat ke konten

Kearifan Lokal: Peran Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan

Warga Papua dari Suku Tenit berdiri di depan pohon Merbau terbesar di Hutan (Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace)

Hutan merupakan paru-paru dunia, tempat di mana satwa hidup, pohon-pohon, dan sumber daya yang ada di dalamnya. Sumber daya alam yang terkandung di dalamnya tidak hanya dapat dimanfaatkan secara langsung, tetapi juga terdapat manfaat tidak langsung yang berpengaruh terhadap hidup dan penghidupan manusia. Kelestarian hutan, termasuk perannya dalam mendukung kehidupan manusia, satwa, dan tumbuhan, sangat bergantung pada tingkat kesadaran manusia terhadap pentingnya hutan dalam pemanfaatan dan pengelolaannya. Beberapa dekade belakangan ini, telah terjadi banyak bencana alam, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya hutan yang menyebabkan angka kerusakan hutan semakin meningkat. Masyarakat memiliki andil yang sangat penting dalam menjaga agar hutan tetap lestari, tidak terkecuali masyarakat adat. Bagi masyarakat adat, hutan tidak hanya sekedar berisikan sumber daya alam yang bermanfaat untuk ekonomi, tetapi menjadi identitas budaya dan spiritual. Pemberian akses dalam bentuk hutan adat menunjukkan hadirnya pemerintah dalam rangka mengurangi ketimpangan pengelolaan kawasan hutan di Indonesia (Purba dkk., 2023). Masyarakat hukum adat dan kearifan lokal yang dimiliki berkontribusi dalam upaya pengelolaan hutan secara lestari.

Kearifan lokal menjadi modal dalam membangun hubungan antara diri dengan alam sekitar. Kearifan lokal merupakan suatu bentuk tata nilai, sikap, persepsi, perilaku dan respon suatu masyarakat lokal dalam berinteraksi pada suatu sistem kehidupan dengan alam dan lingkungan tempatnya hidup secara arif (Soemarwoto, 1999). Ciri khas kearifan lokal yang mewarnai kelompok masyarakat hukum adat adalah eratnya hubungan kelangsungan hidup mereka dengan pemanfaatan hutan. Kearifan lokal dapat menjelma dalam berbagai bentuk seperti ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan dalam ranah kebudayaan, sedangkan dalam kehidupan sosial dapat berupa sistem religius, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 1964 dalam Undri 2016). Prinsip pengelolaan hutan adat adalah dengan tidak merubah fungsi hutan, dan mereka mengemban kewajiban pemangku hutan untuk menjalankan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak.

Masyarakat memiliki pengetahuan tradisional yang menjadi norma dalam pengelolaan hutannya, salah satu adalah dikenalnya peruntukan hutan berdasarkan daerah aliran sungai dengan mempertimbangkan fungsi ekologis hutan dan sungai dengan membagi hutan menjadi tiga peruntukkan kawasan, yaitu; hutan larangan sebagai zero growth, hutan simpanan sebagai hutan cadangan yang diperuntukkan bagi keluarga generasi berikutnya dan hutan olahan sebagai kawasan hutan yang dikelola, yang umumnya dengan sistem ladang (Undri, 2016). Wilayah hutan yang dikelola oleh masyarakat adat cenderung memiliki tingkat kerusakan yang lebih rendah. Dalam laporan PBB ditegaskan bahwa masyarakat adat adalah penjaga hutan terbaik di dunia. Misalnya masyarakat adat di Amerika Latin memiliki laju deforestasi lebih dari 50 persen lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain di dunia. Contoh konkret dapat dilihat di negara-negara seperti Bolivia, Brazil, dan Kolombia, di mana masyarakat adat berperan penting dalam menjaga kelestarian hutan.

Sementara itu, Indonesia dengan masyarakat adat yang tersebar di berbagai kawasan hutan juga memiliki memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian hutan melalui sistem pengelolaan berbasis kearifan lokal. Sebagai contohnya dapat dilihat pada Masyarakat Adat Hono yang berasal dari Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Masyarakat Adat Hono memiliki aturan-aturan adat yang berkaitan dengan tata kelola hutan adat. Aturan-aturan tersebut di antaranya yaitu: 1) dilarang menebang pohon di bantaran sungai; 2) dilarang menebang pohon yang masih kecil; 3) dilarang menebang pohon tanpa keperluan; 4) dilarang mencemari sumber mata air.

 


Referensi

Purba, D. P., & Mardawani, M. (2023). Pengelolaan Hutan Adat dengan Prinsip Kearifan Lokal (Study di Hutan Adat Riam Batu, Kecaamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat). Jurnal Pekan: Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 8(1), 1-13.

Soemarwoto, 1999. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta : GMUP.

Undri, U. (2016). Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan di Desa Tabala Jaya Kecamatan Banyuasin II Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan 1. Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya, 2(1), 308-323.

Kennial Laia. (2021). PBB Akui Masyarakat Adat Merupakan Penjaga Terbaik Hutan Alam. https://betahita.id/news/lipsus/6067/pbb-akui-masyarakat-adat-merupakan-penjaga-terbaik-hutan-alam.html?v=1647006573. Diakses pada tanggal 20 Februari 2025.

Peraturan Menteri LHK No. P.32/Menlhk/Setjen/2015 tentang Hutan Hak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses