Lompat ke konten

RUU KUHP disahkan, bagaimana masyarakat hukum adat?

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah disahkan pada hari Selasa, 06 Desember 2022 menjadi Undang-Undang. Pengesahan RUU KUHP dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022 – 2023 dengan agenda pengambilan keputusan atas RUU KUHP. Rapat paripurna DPR RI dihadiri oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laony, Wakil menteri hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej beserta jajaran Kemenkumham dan anggota Komisi III DPR RI. UU KUHP telah mengalami perjalanan yang cukup panjang hingga disahkan, pembahasan pembaruan UU KUHP telah dilakukan sejak periode DPR RI 2014 – 2019 yang kemudian dilanjutkan pada periode ini. Kegiatan pengumpulan aspirasi masyarakat, sosialisasi, dan diskusi telah dilakukan oleh DPR RI sehingga pembahasan RUU KUHP telah berlangsung cukup komprehensif. Menurut Bambang Wuryanto selaku Ketua Komisi III DPR RI, UU KUHP akan menjadi pembaharuan hukum pidana pada tingkat nasional. Sejalan dengan itu, Menteri Hukum dan HAM juga mengatakan bahwa pengesahan RUU KUHP menjadi momentum bersejarah bagi negara Indonesia. UU KUHP menjadi kitan perundangan milik Indonesia pribadi menggantkan KUHP Belanda di Indonesia yang telah digunakan sejak tahun 1918.

Bak pisau bermata dua, kebanggaan yang dirasakan aparatur pemerintah tersebut tidak dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia yang tergabung dalam satu aliansi. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, Kontras, AJI, ELSAM, dan 100 organisasi demokrasi, HAM, dan mahasiswa tergabung dalam aliansi tersebut. Setidaknya terdapat 12 ketentuan yang masih belum dapat diterima oleh aliansi tersebut salah satunya ketentuan terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat terutama bagi masyarakat hukum adat. Dalam pasal 597 ayat 1 yang berbunyi setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana. Kata “hukum yang hidup dalam masyarakat” dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Terlebih lagi masih adanya diskriminasi pada pihak tertentu seperti perempuan dan kelompok rentan lainnya yang akan menjadi celah pengalahgunaan kebijakan. Peneliti Huma (Hukum Untuk Rakyat), Nadya Demadevina mengatakan dalam praktiknya masyarakat hukum adat tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU KUHP. Nilai kesakralan hukum adat menurut Nadya juga akan berkurang karena proses sidang akan dilakukan secara formil dalam pengadilan. Dalam dugaannya bahkan keputusan sidang nantinya akan dikeluarkan oleh majelis hakim bukan lagi ketua adat. Hukum adat yang selalu dinamis sesuai perkembangan masyarakat akan hilang karakteristiknya karena adanya pengaturan living law yang menjadi ketentuan dalam skala nasional.

 

Daftar Pustaka

https://www.hukumonline.com/berita/a/koalisi–pasal-living-law-ruu-kuhp-berpotensi-menyingkirkan-masyarakat-hukum-adat

https://kalbar.kemenkumham.go.id/berita-kanwil/berita-utama/6252-ruu-kuhp-disahkan-menjadi-undang-undang

https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/42223/t/Bersejarah%2C+Komisi+III+DPR+RI+dan+Pemerintah+Sahkan+RUU+KUHP+Jadi+UU

https://news.detik.com/berita/d-5595480/pidana-adat-diakui-di-ruu-kuhp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.