Sumber: https://kmmh.fkt.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/364/2021/01/hutan-rakyat-sengon-11-300×225.jpg
Pulau Jawa seluas 129.438,28 km2 dengan lebih dari 136 juta jiwa tinggal di pulau ini. Keadaan tersebut menjadikan Pulau Jawa sebagai salah satu daerah terpadat di dunia. Kepadatan pulau Jawa tentu saja berimplikasi pada besarnya tekanan sumber daya alam demi kelangsungan hidup penduduknya. Data yang dipublikasikan oleh BPKH Wilayah XI, Jawa‐Madura (2012) menunjukkan bahwa dari 98 juta hektar kawasan hutan di seluruh Indonesia, hanya sekitar 3,38% saja yang tercatat berada di pulau Jawa4. Catatan BPKH menyebutkan, hutan di Pulau Jawa luasnya (12.960.071 ha), sementara luas kawasan hutan sebesar ± 24% dari luas Pulau Jawa, dengan tutupan hutan +-19%. Hutan tersebut terdiri dari hutan lindung (735.194,560 ha), hutan produksi (1.812.186,050 ha) dan hutan konservasi (76.065,304 ha)2. Hutan lindung dan hutan produksi dikelola oleh Perum Perhutani (kecuali hutan di Provinsi DIY), sedangkan hutan konservasi dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Luas hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani sebanyak 76,83 % dari luas hutan di Pulau Jawa.
Sebanyak 60% penduduk sekitar hutan di Pulau Jawa bergantung pada pertanian dan tergolong miskin dengan rata-rata kepemilikan lahan <0,50 ha/keluarga petani. Hal ini tentu menyebabkan ketergantungan terhadap hutan menjadi tinggi. Konsekuensi dari ketergantungan penduduk terhadap hutan membuat hutan di Jawa harus mengakomodir fungsi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Dampaknya terjadi pengurangan luasan hutan dan berbagai konflik tenurial. Padahal, hutan di Jawa juga merupakan penyangga ekosistem Pulau Jawa, sehingga harus mampu menjalankan fungsi ekologi sebagai penyimpan air, penahan banjir, tanah longsor, penyubur tanah, menyediakan udara bersih dan fungsi keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, bermunculan pengelolaan hutan yang melibatkan peran aktif masyarakat. Terlebih lagi, hutan di Jawa harus juga menjalankan fungsi ekonomi terhadap negara dan Perum Perhutani melalui produksi hasil hutan.
Dengan adanya ketergantungan masyarakat yang cukup tinggi terhadap hutan, maka perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat mengenai tata kelola hutan. Kewenangan sosialisasi, penyuluhan, dan pemberdayaan masyarakat hutan sebenarnya menjadi urusan bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten. Dalam implementasinya Kementerian Kehutanan kurang berperan dalam menjalankan kewenangan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan di Pulau Jawa. Selama ini hanya ada satu pedoman melalui Permenhut P.68/ Menhut-II/2006 tentang Pedoman Kegiatan Kerjasama Usaha Perum Perhutani dalam Kawasan Hutan. Terdapat Permenhut lain terkait dengan pemberdayaan masyarakat yakni Permenhut No.9 tahun 2021 akan tetapi membahas perhutanan sosial. Selain itu, permenhut lain lebih banyak diimplementasikan di luar Jawa2. Hingga saat ini, belum ada terobosan kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk mengatasi tingginya konflik masyarakat di kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani. Pemerintahan Provinsi dan kabupaten juga dinilai kurang dalam mengemban fungsi fasilitasi dan monitoring evaluasi masyarakat sekitar hutan. Pemerintah Kabupaten juga demikian, belum banyak menjalankan kewenangan untuk melakukan pendampingan, pengembangan kelembagaan usaha, dan kemitraan masyarakat sekitar hutan.
Penguasaan kawasan hutan oleh negara juga telah menimbulkan ketimpangan kepemilikan lahan. Dengan melihat rata‐rata kepemilikan lahan <0,50 ha/keluarga petani, sangat jelas terlihat ketimpangan penguasaan aset produksi antara rakyat, pemerintah, dan Perhutani di Jawa. Kesenjangan yang tajam telah memicu konflik para pihak yang berkepentingan dengan tanah dan hutan Jawa. Masyarakat yang turun‐temurun tinggal dan hidup di dalam kawasan hutan negara merasa telah memiliki hak yang kuat untuk mengakses hutan dan lahan. Di sisi lain, pemerintah sebagai representasi negara merasa memiliki posisi paling kuat atas penguasaan tanah dan hutan. Akibatnya terjadi kegaduhan persoalan kehutanan di Jawa, khususnya antara masyarakat dan Perhutani. Contohnya konflik antara Perhutani dan masyarakat yang terjadi akibat dari dimasukkannya tanah‐tanah masyarakat ke dalam kawasan hutan negara yang dikuasai Perhutani, baik atas wilayah yang telah ditata batas maupun belum3.
Untuk mengatasi konflik dengan masyarakat sekitar hutan Jawa, Perhutani kemudian meluncurkan program kemitraan PHBM. Secara konsep, PHBM dikembangkan untuk mengatasi konflik dan menanggulangi persoalan kemiskinan yang terjadi di desa‐desa di dalam dan sekitar hutan. Tidak dipungkiri bahwa PHBM turut berperan dalam membuka akses masyarakat terhadap hutan dan menyumbang pendapatan petani melalui bagi hasil produksi mencapai 160,279 milyar. Namun sejalan dengan itu, tindak kekerasan dan penangkapan petani oleh aparat gabungan Kepolisian dan Polhut juga masih terus berlangsung. Penangkapan dan tindak kekerasan dilakukan terutama pada saat Operasi Hutan Lestari digelar di Jawa.
Salah satu contoh kasus yang cukup mengemuka adalah penangkapan dua orang petani hutan di Desa Ketenger dan seorang anak petani hutan di Desa Panusupan Banyumas. Aksi penangkapan itu dilakukan pada saat proses kerjasama PHBM masih berjalan. Di dalam MoU disebutkan bahwa mekanisme penyelesaian konflik akan mengedepankan musyawarah di desa, namun Perhutani malah memilih penggunaan jalur hukum formal1.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Dokumentasi Komunitas Peduli Slamet (Kompleet). 2011.
[2] Ekawati, S., Budiningsih, K., Sylviani, S. E., & Hakim, I. (2015). Kajian tinjauan kritis pengelolaan hutan di Pulau Jawa. Policy Brief, 9(1).
[3] Ferdaus, R. M., Iswari, P., Kristianto, E. D., Muhajir, M., Diantoro, T. D., & Septivianto, S. (2014). Rekonfigurasi Hutan Jawa: sebuah peta jalan usulan CSO. Biro Penerbitan Arupa, Yogyakarta.
[4] Sumardjani, Lisman. 2007. Konflik Sosial Kehutanan. Bogor: WG Tenure. Suprapto, Edi dkk (eds.). 2004. Konflik Hutan Jawa. Yogyakarta: BP ARuPA.