Sistem pengelolaan hutan jawa di masa lalu menganut pada pandangan atau model German Forestry School, model tersebut memiliki prinsip bahwa hutan sepenuhnya dikuasai oleh negara. Model German Forestry School berimplikasi terhadap munculnya konsep Minimum Diversity, konsep yang bertujuan untuk mendapatkan hasil optimal dengan batasan diversitas sehingga muncul istilah pohon komersial, lesser known species, dan economical species yang beberapa istilah tersebut masih sering kita gunakan sampai saat ini. Istilah atau konsep tersebut lahir dikarenakan adanya kebutuhan negara untuk mendapatkan sumber daya ekonomi lebih cepat dan lebih terukur. Kemudian ada juga konsep AAC, konsep yang bertujuan agar penebangan dilakukan sesuai dengan etat dan umur masak tebang. Konsep tersebut lahir untuk mencegah kerugian dalam proses penebangan. Model sistem penguasaan ini dimulai dari pemerintah kolonial Hindia Belanda hingga masa orde reformasi [1].
Model German Forestry School mencakup beberapa hal yaitu, peraturan perundangan kehutanan, pembentukan organisasi kehutanan dan penyelenggaraan sistem tata hutan yang bertujuan untuk memantapkan usaha-usaha pelestarian fungsi-fungsi hutan dibidang produksi dan konservasi dengan memperhatikan kepentingan masyarakat desa di sekitar hutan [2]. Model pengelolaan ini mulai diperkenalkan oleh Daendels ketika kondisi hutan sudah berada di ambang terburuk sehingga diperlukan aksi penyelamatan berupa reforestasi dan rehabilitasi hutan. Tetapi jika kita lihat lagi, model ini memiliki beberapa peninggalan yang cukup membekas hingga saat ini diantaranya paradigma berpikir, sistem pengelolaan yang dianut, serta pendekatan yang dilakukan. Model yang dilakukan oleh Daendels memiliki tiga prinsip utama, yaitu: (1) Penguasaan tanah diserahkan kepada negara dan menghapus peraturan atau sejenisnya dalam hal eksploitasi hutan oleh swasta. Hal ini dilakukan untuk memberikan kepastian hukum. (2) Spesies, dimana prinsip ini berfokus pada kelestarian produksi kayu jati untuk memaksimalkan keuntungan yang dapat diraih. Rehabilitasi hutan yang dilaksanakan berfokus pada tanaman jati dan dalam jangka waktu setahun Jawatan Kehutanan menanam sedikitnya 100.000 bibit jati. (3) Penguasaan Tenaga Kerja, pada masa Daendels para buruh tebang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak orang dan pajak tanah. Masa Pemerintahan Daendels ini berlangsung pada tahun 1808 [3].
Implikasi dari penggunaan model pengelolaan tersebut yaitu penggunaan kayu jati yang semakin eksis dari dulu hingga sekarang. Pola pikir yang hanya berfokus pada hutan kayu jati menjadikan kayu lain belum terlalu terekspos dengan baik sehingga perkembangan hutan kayu non jati baik itu dari segi kualitas, pengelolaan, dan pengembangan tidak terlihat sinar terangnya. Seolah-olah pengelolaan hutan terbaik adalah pengelolaan kayu hutan jati saja, dikarenakan sudah ada sejarah dan rekam jejaknya. Tetapi, jika kita melihat lebih dalam lagi pengembangan hutan kayu non jati memiliki potensi yang cukup besar dikarenakan waktu pertumbuhan yang relatif cepat dibandingkan dengan kayu jati. Pengelolaan hutan jati ini dapat diadopsi untuk jenis kayu lain sehingga di masa depan terdapat beberapa pilihan kayu berkualitas terbaik. Selain itu, diharapkan tempat tumbuh vegetasi dapat melakukan siklus pembaharuan nutrisi. Hal tersebut penting dikarenakan setiap vegetasi memiliki daya tangkap dan daya serap nutrisi yang berbeda-beda. Jika suatu lahan hanya ditanami dengan jenis jati saja tanpa adanya perubahan maka nutrisi yang dibutuhkan untuk perkembangan jati akan terus berkurang atau bahkan habis. Akibatnya akan terjadi penurunan produktivitas kayu jati dan pembaharuan nutrisi tanah mungkin akan berlangsung cukup lama dikarenakan adanya kerusakan tapak atau tempat tumbuh tegakan.
Apabila kita bandingkan dengan pengelolaan hutan sebelum kedatangan pihak Belanda. Masyarakat dahulu memiliki akses penuh terhadap hutan, terlihat dari masyarakat adat yang tersebar secara acak di area hutan. Persebaran masyarakat tersebut menandakan bahwa masyarakat bergantung pada hutan sebagai sumber kehidupan dengan akses yang mudah dijangkau. Tetapi, keadaan berbalik ketika pihak lain datang dan memposisikan hutan menjadi tempat penghasil ekonomi. Langkah yang mereka ambil adalah menyingkirkan masyarakat dengan cara pengelompokkan masyarakat adat di area tertentu sehingga akses terhadap hutan menjadi sulit dengan didirikannya Administrasi Kehutanan sebagai pihak pengelola dalam hal pengaturan hasil hutan oleh Daendels. Administrasi Kehutanan ditujukan untuk mengatur jalannya monopoli perdagangan kayu jati, penguasaan negara atas lahan jati, tenaga buruh eksploitasi, dan pengorganisasian polisi hutan. Kemudian, pada masa kekuasaan Raffles Administrasi Kehutanan berubah nama menjadi Jawatan Kehutanan dimana saat itu organisasi kehilangan tupoksi dan kinerjanya menurun.
Pada tahun 1865 lahirlah UU Kehutanan dengan nama Boschordonantie voor Java en Madoera atau yang lebih dikenal dengan Reglemen Hutan 1865. Reglemen Hutan 1865 membahas terkait eksploitasi hutan jati yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan pihak partikelir. Eksploitasi dilaksanakan dalam dua cara yaitu pihak swasta diberikan konsesi penebangan hutan jati dengan membayar uang sewa yang dihitung dengan taksiran nilai harga kayu dalam setiap persil menurut lamanya konsesi yang diberikan. Kemudian cara kedua, kayu yang ditebang oleh pihak penerima konsesi diserahkan kepada pemerintah dan pihak swasta penerima konsesi menerima uang pembayaran upah melalui tender terbuka. Reglemen ini tidak bertahan lama dan diganti dengan peraturan yang berisi tentang pengaturan pemisahan pengelolaan hutan jati dengan hutan rimba non jati pada tanggal 14 April 1874 [4].
Dalam rangka melanjutkan kepastian hukum, pada tahun 1870 terbitlah UU Agraria. UU ini menekankan pada tiga hal, yaitu (1) Tanah di Hindia Belanda dibagi menjadi dua dimana tanah milik pribumi berupa persawahan, kebun, ladang. Kemudian untuk tanah pemerintah adalah tanah tanah hutan yang tidak termasuk tanah pribumi. (2) Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah. (3) Pihak swasta dapat menyewa tanah, dimana tanah pemerintah dapat disewa selama 75 tahun dan tanah pribumi dapat disewa selama 30 tahun [5]. Selanjutnya, pada tahun 1874 penguasaan hutan jati diserahkan kepada swasta dan pengelolaan hutan non jati diserahkan kepada Residen. Pengelolaan hutan jati dilakukan secara teratur dan terstruktur dimulai dari pemetaan, penataan kawasan hutan, dan penetapan batas-batas hutan. Akibat dari sistem pengelolaan bukan di tangan masyarakat adalah akses terhadap hutan bagi masyarakat menjadi semakin sulit. Adanya pengelompokan masyarakat dalam satu daerah yang mana dahulunya tersebar secara acak juga merupakan akibat dari sistem pengelolaan tersebut. Disisi lain, pengelompokan masyarakat adat tersebut semakin memudahkan pengelola untuk mengeksploitasi hutan karena rendahnya konflik yang timbul dengan masyarakat.
Penguasaan hutan oleh negara sebenarnya telah terlaksana pada masa kekuasaan Daendels. Akan tetapi, konsep Hutan Negara baru dilegitimasi oleh kebijakan kolonial pada tahun 1897 melalui Reglement voor het beheer der bosschen van den Lande op Java en Madoera. Kemudian, dapat kita lihat implikasi dari konsep Hutan Negara tersebut pada UU No 41 Tahun 1999 dalam beberapa pasal, diantaranya (1) Pasal 1 ayat 6 yang berbunyi “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” bermakna bahwa penguasaan tetap berada ditangan negara. (2) Pasal 1 ayat 4 yang berbunyi “Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah”. (3) Pasal 4 ayat 1 berbunyi “Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” bermakna bahwa tidak ada satu pun hutan di Indonesia yang tidak dikuasai oleh negara. (4) Pasal 4 ayat 2 berbunyi “Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memberi wewenang kepada Pemerintah untuk: a.) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. b.) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan c.) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai Kehutanan”. [6].
Perubahan kebijakan terhadap pengelolaan hutan dari masa Hindia Belanda hingga saat ini dikeluarkannya UU Cipta Kerja masih belum dapat menangani masalah pengelolaan hutan. Angka deforestasi dan degradasi lahan semakin tinggi seiring bertambahnya waktu. Pengelolaan hutan yang terus berpandangan pada sisi ekonomi saja tidak akan pernah berhasil untuk menciptakan hutan yang lestari. Konsekuensi terburuk, hutan akan musnah di masa depan. Kebijakan memang berperan penting dalam pengelolaan hutan, tetapi peran masyarakat, stakeholder, dan rimbawan merupakan inti dalam mengelola hutan. Hutan akan dapat dimanfaatkan sesuai apa yang telah disebutkan dalam UU No. 41 tahun 1999 pasal 4 ayat 1 “untuk kemakmuran rakyat”, jika semua pihak menurunkan ego dan kepentingan pribadinya demi kesejahteraan negara dan rakyat. Jadi, masihkah relevan pengelolaan hutan dengan kondisi saat ini?
Daftar Pustaka:
[1]. Ferdaus, R.M., Iswari, P., Kristianto, E.D., Muhajir, M., Diantoro, T.D., Septivianto, S. (2014). Rekonfigurasi Hutan Jawa: Sebuah Peta Jalan Usulan CSO. Yogyakarta: Biro Penerbitan ARuPA
https://arupa.or.id/sources/uploads/2017/05/REKONFIGURASI-HUTAN-JAWA-final-pdf4.pdf
[2]. Yunasfi. (2007). “Social Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan”. Sumatera Utara
https://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/864/132288490%282%29.pdf?sequence=2&isAllowed=y
[3]. Purwanto, A.B. (2009). “Samin dan Kehutanan Abad XIX”. Yogyakarta
https://repository.usd.ac.id/27408/2/044314005_Full%5B1%5D.pdf
[4]. Nurjaya, I.N. (2005). “Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia”. Jurisprudence ;2(1); 35-55
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/1036/3.NYOMANNURJAYA.pdf?sequence=1
[5]. Ningsih, W.L. (2021). “Undang-Undang Agraria 1870: Isi, Tujuan, Pengaruh, dan Pelanggaran”,https://www.kompas.com/stori/read/2021/09/16/090000379/undang-undang-agraria-1870-isi-tujuan-pengaruh-dan-pelanggaran, diakses pada 19 Februari 2021 pukul 23.00
[6]. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
https://jdih.esdm.go.id/storage/document/uu-41-1999.pdf