Lompat ke konten

[MH PEDIA] Deforestasi dan Penegakan Hukum di Indonesia

Indonesia mengalami perubahan tutupan dan kondisi hutan secara drastis dimulai pada tahun tahun 1970an. Perubahan ini dipicu akibat deforestasi dan degradasi hutan yang tidak terkendali sebagai dampak atas kebijakan promosi industry kayu Indonesia di kancah Internasional. Kebijakan tersebut mengarah pada praktik industri hasil hutan kayu yang hanya mengolah kayu  bulat berkualitas tinggi dan meninggalkan limbah kayu  yang sangat besar di hutan. Hal ini mendorong eksploitasi yang berlebihan dengan tujuan  untuk memperoleh lebih  banyak pohon dewasa yang dapat menyebabkan gangguan lebih  lanjut pada hutan sekunder. Kebijakan ini bahkan semakin diperparah dengan prosedur monitoring dan evaluasi yang tidak ada. Peraturan kehutanan Indonesia juga tidak menetapkan sanksi hukum yang konkrit terhadap kejahatan kehutanan.

Tahun 1990an hutan Indonesia mulai dikembangkan kearah hutan tanaman untuk menjaga pasokan kayu dan mendukung Indonesia dalam perkembangan industry di bidang pengolahan pulp dan kertas. Pengembangan hutan tanaman juga memiliki kontribusi terhadap deforestasi karena dilakukan pada hutan dengan memanfaatkan pada areal yang tidak produktif menjadi hutan produksi, padahal lahan tersebut sebenarnya masih bisa dihutankan kembali. Konsesi diizinkan untuk memanen (tebang habis) dan menjual semua kayu  terlepas dari  ukuran pohon atau spesies dari  area yang ditentukan. Selain hutan tanaman, kelapa sawit juga mulai terindentifikasi sebagai pendorong utama deforestasi. Hal ini ditunjukan bahwa pada  tahun 1990  dan 2010,  total luas perkebunan kelapa sawit meningkat dari  1,1 juta  menjadi 7,8 juta  hektar. (Margono et al, 2014)  Perkembangan kelapa sawit semakin pesat karena didukung oleh negara, permintaan pasar global yang tinggi dan penerapan system desentralisasii yang memberikan wewenang kepada Pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin perkebunan sehingga dalam penerapannya tidak dapat terkendali (Kartodihardjo dan  Supriono, 2000). Salah satu contohnya yaitu ratusan izin yang mencakup hampir empat juta  hektar kawasan hutan di Kalimantan Tengah telah diberikan kepada investor tanpa pelepasan lahan resmi dari  otoritas kehutanan pusat. (Irawan, et al, 2019)

Peraturan di bidang kehutanan  pada awalnya tidak menetapkan sanksi hukum yang konkrit terhadap tindakan kriminal di bidang kehutanan. Hal ini berdampak terhadap penegakan hukum yang lemah dan pemantauan yang tidak memadai yang semakin diperburuk oleh korupsi di antara pejabat di Indonesia. birokrat, partai politik  dan anggota parlemen, tentara bahkan polisi  telah terlibat dalam kegiatan korupsi di bidang hutan, misalnya meminta suap untuk mendapatkan izin, dan mengizinkan ekspor tanpa izin resmi. Perilaku korupsi serupa juga tersebar luas di pengadilan Indonesia, sehingga sangat sedikit kasus yang sampai ke tahap persidangan, dan bahkan lebih  sedikit hukumannya. Pada tahun 2013,  pemerintah menerbitkan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (No. 18/2013). Hal ini bertujuan untuk memperkuat penegakan hukum kehutanan  Pemerintah Indonesia juga membentuk sejumlah lembaga penegakan hukum kehutanan. Di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terdapat Direktorat Jenderal (Ditjen) Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan khusus yang bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi gangguan dan ancaman terhadap hutan serta pelanggaran terhadap hutan dan lingkungan.  Dirjen  mempekerjakan polisi  hutan, dan penyidik pegawai negeri sipil. Penegakan hukum kehutanan yang dilakukan oleh KLHK seringkali terkendala oleh keterbatasan anggaran dan personel. Penegakan hukum di Indonesia harus selalu dievaluasi dan dikembangkan agar menekan kasus kejahatan di bidang kehutanan yang akan mengurangi tingkat deforestasi di Indonesia.

 

Sumber:

Irawan, S., Widiastomo, T., Tacconi, L., Watts, J., dan Steni, B., 2019. Exploring the design of jurisdictional REDD+: the case of Central Kalimantan, Indonesia. For. Pol. Econ.

Kartodihardjo, H., dan  Supriono, A., 2000. The Impact of Sectoral Development on Natural Forest Conversion and Degradation: The Case of Timber and Tree Crop Plantations in Indonesia. Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor.

Margono, B.A., Potapov, P.V., Turubanova, S., Stolle, F.,  dan Hansen, M.C., 2014. Primary forest cover loss in Indonesia over 2000–2012. Nat. Clim. Change 4 (8), 730–735.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.