[MH PEDIA] Menilik Kebijakan Food Estate

Food estate merupakan sebuah program yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengantisipasi krisis pangan utamanya yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo telah menempatkan kebijakan food estate ini sebagai salah satu agenda Program Strategis Nasional (PSN) tahun 2020-2024. Kebijakan food estate ini bukan pertama kali diterapkan di Indonesia namun juga pernah di implementasikan utamanya pada lahan gambut pada era orde baru di regime Soeharto yang dikenal dengan Proyek Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah pada tahun 1995, kemudian berlanjut ke proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Marauke Papua pada tahun 2010, dan Delta Kayan Food estate (DeKaFE) di Kalimantan Utara pada tahun 2011. Kini proyek food estate tengah dilaksanakan mulai tahun 2020 di provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara, dan juga turut direncanakan untuk dibangun di provinsi lainnya meliputi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara barat, hingga Papua. Food estate atau lumbung pangan merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan dengan cara tertentu dan Integrasi dari berbagai sektor yang terdiri dari pertanian, perkebunan bahkan peternakan di lahan yang luas (Husnain, 2021).


Terdapat sekitar 3,04 triliun pohon di planet Bumi (Crowther et al, 2015) yang meliputi 31% tutupan lahan di dunia. Setiap tahunnya 15 miliar pohon ditebang. Maka perlu sekitar 200 tahun untuk membuat semua hutan di dunia benar-benar musnah. Lalu apa yang akan terjadi jika hutan di dunia benar-benar musnah pada 200 tahun mendatang?


Dalam banyak kasus dimana terlibatnya masyarakat dalam pengelolaan hutan banyak menimbulkan perbedaan terutama di bidang gender. Dalam pengelolaan hutan laki-laki dan perempuan memiliki porsi peran yang berbeda-beda, baik dalam penentuan pekerjaan maupun dalam kegiatan yang harus dijalankan dalam pengelolaan hutan, yaitu tata kelola kawasan, tata kelola kelembagaan, dan tata kelola usaha. Selama ini peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya hutan masih belum terlihat secara jelas dan dalam pengelolaan hutan peran perempuan masih dikatakan kurang. Dari hasil penelitian CIFOR 2013 menyatakan bahwa partisipasi perempuan diragam kegiatan kehutanan serta dalam kehutanan skala besar masih kurang, sehingga gambaran yang tepat mengenai keterlibatan perempuan sulit didapatkan. Hal ini menyiratkan bahwa peran perempuan dalam sektor kehutanan tidak terlihat.


Pemerintah Indonesia memanfaatkan tiga kegiatan utama restorasi lahan gambut yaitu pembasahan gambut (rewetting), penanaman kembali (revegetasi) dan pemberdayaan ekonomi penduduk local (revitalisasi) (BRG 2016). Kegiatan ini diharapkan dapat menangani risiko sistemik dari kebakaran gambut. Restorasi dimulai dengan kegiatan pembasahan sekat saluran, pembangunan dan perbaikan sekat kanal serta penimbunan kembali saluran pada lahan gambut. Pemblokiran / penimbunan saluran yang tepat dapat meningkatkan permukaan air tanah. Kegiatan ini akan sangat efektif dilaksanakan di seluruh Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang merupakan sistem pengelolaan air terintegrasi,. (Harrison et al. 2020). Setelah pembasahan gambut, diperlukan revegetasi untuk menyelesaikan restorasi biofisik lahan gambut. Revegetasi dilaksanakan melalui pelatihan budidaya dan pembuatan rumah pembibitan, pembukaan lahan tanpa bakar, dan penanaman pohon komoditas yang telah disepakati.



Demografi Indonesia menjadi faktor penting dalam pengelolaan sektor penggunaan lahan yang terkait untuk ketahanan pangan, produksi pertanian, dan mata pencaharian jutaan rakyat Indonesia. Kepentingan penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan menjaga keutuhan ekologi harus diseleraskan. Rencana jangka Panjang harus dilakukan dengan menerapkan manajemen lahan masa depan untuk menekan lau deforestasi dalam upaya mitigasi iklim. Pertama, menetapkan kerangka kerja dalam upaya pengelolaan dan tata kelola penggunaan lahan dalam jangka panjang. Kedua dengan memelihara dan memulihkan ekosistem penggunaan lahan saat ini, dengan membangun perlindungan hutan, lahan gambut, dan ekosistem alam lainnya untuk menjaga ketahanan di sektor-sektor seperti air, energi, serta kesehatan dan keselamatan publik. Ketiga dengan berinvestasi pada pengurangan emisi berbasis lahan berbiaya rendah sebagai opsi mitigasi yang berbiaya lebih tinggi dengan menambah akselerasi pengembangan teknologi mitigasi di masa depan (Seymour 2018). Ketiga tahap ini merupakan solusi alterative untuk mitigasi iklim jangka Panjang di Indonesia.
Potensi hutan alam sebagai penghasil kayu bagi pembangunan nasional semakin hari semakin menurun, di sisi lain permintaan kayu terutama sebagai bahan baku industri pengolahan kayu makin bertambah. Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui pengembangan hutan rakyat. Disamping mempunyai fungsi pendukung lingkungan, konservasi tanah dan perlindungan tata air, hutan rakyat atau lahan-lahan lain diluar kawasan hutan juga mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam upaya pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu yang dihasilkan dari luar kawasan hutan milik negara. Luas hutan rakyat di Indonesia, adalah 1.271.505,61 ha, dengan jumlah perkiraan tegakan sebanyak 42.965.519 pohon. Adapun jenis tanaman yang paling banyak ditanam di hutan rakyat, diantaranya adalah : Sengon (Albizia falcataria), Mahoni (Swietenia macrophylla), Jati (Tectona grandis), Akasia (Acacia mangium), Sonokeling (Dalbergia latifolia), Pete (Parkia speciosa), Nangka (Artocarpus integra), Gamal (Inocarpus edulis), Mindi (Melia azadararah), Cemara (Causuarina equisetifdia), Suren (Toona sureni), Mangga (Mangifera indica), Melinjo (Gnetum gnemon), Kelapa (Cocos nicifera), Kemiri (Aleurites moluccana), Pinang (Casearia coriacea), Mete (Daemonorops niger), Rambutan (Nephelium lappaceum), Durian (Durio ziberthinus), Bambu (Gigancochloa apus), Sungkai (Heterophrogma macrolobum), Karet (Ficus elastica), Kopi (Abelmoschus esculentus), Kapuk (Ceiba pentandra), Ampupu (Ecalyptus urophylla), Johar (Cassia siamea), Cempedak (Artocarpus champeden), Angsana (Pterocarpus indica), Nyatoh (Palaquium javense), Enau (Arenga pinnata), Asam (Tamarindus indica), Kaliandra (Calliandra calothygisus), Matoa (Pometia pinnata) dan Sonokrit (Dalbergia sisso).