
Perubahan iklim menjadi tantangan global yang semakin mendesak, mengancam stabilitas ekosistem dan kesejahteraan manusia. Perubahan suhu global yang semakin meningkat menyebabkan pencairan es di kutub serta naiknya permukaan air laut. Selain itu, perubahan iklim juga berpotensi memicu bencana meteorologi seperti badai, banjir, dan kekeringan. Cuaca yang tidak dapat diprediksi sering kali menyebabkan hujan deras disertai badai, yang berisiko menimbulkan banjir serta tanah longsor di area tanpa tutupan vegetasi. Dengan demikian, kesadaran dan kepedulian terhadap realitas perubahan iklim sangat diperlukan mengingat dampaknya yang luas bagi kehidupan (Salsabila, dkk., 2024).
Perubahan iklim menjadikan hutan sebagai elemen kunci dalam pertahanan alami terhadap perubahan iklim global, sehingga peran kehutanan merupakan agenda penting politik internasional (Pratama & Kunci, 2019). Hutan berkontribusi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang berperan dalam perubahan iklim global (Widhanarto dkk., 2018). Selain berperan sebagai penyerap karbon, hutan juga menghadapi tekanan yang signifikan akibat deforestasi dan degradasi (Sari, dkk., 2024). Berkurangnya tutupan hutan mengurangi kapasitas penyerapan karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer, sehingga mempercepat laju perubahan iklim. Deforestasi yang terjadi akibat ekspansi pertanian, pembukaan lahan untuk perkebunan, serta pembangunan infrastruktur turut meningkatkan emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer. Oleh karena itu, upaya konservasi dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan menjadi langkah penting dalam menekan dampak perubahan iklim serta menjaga keseimbangan ekosistem global.
Sektor kehutanan dianggap sebagai salah satu penyumbang emisi yang cukup signifikan mencapai 18 % – 20 % total emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer sebagai dampak penebangan, konversi lahan, kebakaran hutan, dan aktivitas dalam hutan lainnya (Sulawesi Community Foundation, 2013). Dengan adanya hutan yang hilang, berarti hilang pula jasa lingkungan hutan. Maka, sebagai kompensasi hilangnya nilai ekonomi hutan, jasa lingkungan hutan menjadi salah satu hasil dari upaya penurunan emisi di sektor kehutanan, yang harus dapat dinilai secara komersial dan diintegrasikan dalam mekanisme pasar (Farley, 2012) dalam (Nurfatriani, dkk., 2019). de Groot dan Braat (2012) dalam (Nurfatriani, dkk., 2019) menyatakan bahwa rasionalitas nilai ekonomi dan jasa ekologi untuk menilai jasa lingkungan secara optimal bukan hanya penting tetapi juga mungkin untuk dilakukan.
Kegiatan penurunan emisi dapat berupa upaya restorasi lahan gambut, pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, strategi reboisasi, dan lain sebagainya. Beberapa upaya tersebut akan menghasilkan jasa lingkungan hutan berupa fungsi serapan karbon, fungsi hidrologis hutan dan pengatur iklim mikro. Jasa lingkungan dinilai memiliki potensi untuk mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan hingga mengurangi tingkat kemiskinan (Silori, 2015) dalam (Nurfatriani, dkk., 2019).
Perubahan iklim ini erat kaitannya dengan meningkatnya gas rumah kaca. Hutan juga identik dengan istilah “Hutan sebagai Penyerap Karbon”, di mana istilah tersebut mengandung arti bahwa hutan sebagai carbon sink, yaitu ekosistem yang menyerap lebih banyak karbon dibandingkan karbon yang dikeluarkannya. Pohon dan tumbuhan yang ada di hutan akan berfotosintesis secara alami. Hutan akan mengkonsumsi CO2, yang selanjutnya dengan pasokan energi Photo synthetic Atmospheric Radiation (PAR) dari matahari akan dikonversi menjadi gugus gula dan oksigen (O2). Salah satu dari gugus gula tersebut adalah karbohidrat yang proporsinya banyak disimpan dan diakumulasikan oleh tumbuhan sebagai biomassa (Junaedi, 2008). Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) hutan dapat menyerap kurang lebih 2,6 miliar ton CO2 setiap tahunnya. Alasan ini yang menyebabkan hutan sangat penting bagi pengendalian kadar gas rumah kaca di atmosfer.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hutan memainkan peran krusial sebagai benteng pertahanan alami dalam menghadapi krisis iklim. Selain berfungsi sebagai penyerap karbon yang mampu mengurangi emisi gas rumah kaca, hutan juga berkontribusi dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan mengurangi risiko bencana akibat perubahan iklim. Namun, deforestasi dan degradasi hutan terus menjadi ancaman serius yang mempercepat laju perubahan iklim. Oleh karena itu, upaya konservasi dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan menjadi langkah penting untuk memastikan kelestarian fungsi ekologisnya serta mendukung mitigasi perubahan iklim secara global.
Referensi
Junaedi, A. (2008). Kontribusi hutan sebagai rosot karbondioksida. Info Hutan, 5(1), 1-7.
Nurfatriani, F., Nurrochmat, D. R., & Salminah, M. (2019). Opsi skema pendanaan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan. Jurnal Ilmu Kehutanan, 13(1), 98-113.
Pratama, R. (2019). Efek Rumah Kaca Terhadap Bumi. Buletin Utama Teknik, 14(2), 1410–4520.
Salsabila, P. A., Ranti, L., Savanna, M. P., ST Noor, A. Z., & Lina, K. Strategi Reboisasi untuk Mitigasi Perubahan Iklim dan Pemulihan Ekosistem di Desa Pamarican. Jurnal Kemitraan Masyarakat, 1(4), 28-35.
Sari, Cut Putri Mellita, Noviami Trisniarti, dan Fanny Nailufar. 2024. ANTARA HUTAN, INVESTASI, DAN KEMISKINAN: DINAMIKA EMISI KARBON DI INDONESIA. Jurnal Ekonomi Pertanian Unimal, 7(1): 22 – 32.
Sulawesi Community Foundation (SCF). (2013). Mekanisme Kompensasi Pengurangan Emisi di Sektor Kehutanan yang berkeadilan (Kemitraan Partnership and CSO Network on Forestry Governance and Climate Change). Retrieved from SCF – Concern to Community Engagement: https://scf.or.id/mekanisme-kompensasi-pengurangan-emisi-di-sektor-kehutanan-yang-berkeadilan-kemitraan-partnership-and-cso-network-on-forestry-governance-and-climate-change-fakta/
Widhanarto, G. O., Ris, H. P., Ahmad, M., & Senawi. (2018). Strategi Pengelolaan Hutan Tanaman Industri Untuk Mitigasi Perubahan Iklim Melalui Skema REDD+. Jurnal Tengkawang, 8(2), 122-136.