Bagaimana hak masyarakat adat atas ruang hidupnya?
Melalui putusan MK NO.35/PUU-X/2012, hutan adat sendiri telah lepas dari definisi hutan negara menjadi hutan hak. Putusan MK ini merupakan hasil judicial review yang diajukan oleh AMAN yang merupakan aliansi masyarakat adat dari seluruh Indonesia. Hutan adat yang sah secara hukum merupakan hutan yang dibebani hak milik kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dalam pasal 37 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat berhak untuk memanfaatkan kawasan hutan adat selama tidak bertentangan dengan fungsi kawasan hutan tersebut. Hal ini berarti tindakan pemanfaatan hutan oleh masyarakat hukum adat bukan merupakan tindakan ilegal. Namun, kata hukum mengisyaratkan perlunya pengakuan atas keberadaan masyarakat adat terlebih dahulu sebagai prasyarat dikeluarkannya hutan adat dari kawasan hutan negara.
Garis besar mekanisme pengakuan masyarakat hukum adat termuat dalam pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan Masyarakat Hukum Adat yang mencakup tiga tahapan; identifikasi masyarakat hukum adat; verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat; dan penetapan masyarakat hukum adat. Pengakuan masyarakat hukum adat sendiri belum berarti masyarakat tersebut berhak mengelola hutan dengan status hutan hak. Diperlukan mekanisme lanjutan terkait penetapan hutan sebagai tempat hidup mereka menjadi hutan adat. Beberapa masyarakat adat mendapatkan pendampingan dari berbagai lembaga non-pemerintahan seperti LSM dan pusat penelitian.
Perlu dicermati bahwa penetapan suatu masyarakat adat menjadi masyarakat hukum adat harus berdasarkan keputusan pemerintah daerah, dalam hal ini bupati/walikota atau gubernur sebagaimana tercantum dalam Permendagri No. 54 tahun 2014 pasal 2. Jika tidak mendapat penetapan hukum, masyarakat adat rentan atas tuduhan eksploitasi atas ruang hidupnya sendiri. Belum diakuinya masyarakat adat sebagai pihak yang berhak memanfaatkan ruang hidupnya merupakan celah yang harus segera ditutup untuk mencegah permasalahan yang sering berujung pada konflik bahkan tindakan kriminal.
Permasalahan masyarakat adat dan ruang hidupnya juga dapat berawal dari perampasan akses atas ruang tersebut, dalam hal ini lahan. Sebagian besar hidup masyarakat adat dihabiskan dengan lahan adatnya. Sebut saja mengumpulkan makanan atau melakukan kegiatan bercocok tanam hingga pelaksanaan ritual adat, semuanya berlangsung di lahan mereka masing-masing. Mirisnya, perampasan lahan merupakan fenomena yang sedang dihadapi dunia saat ini. Paradigma developmentalis yang berkembang menyebabkan pembangunan terus meningkat dan menyebar hingga ke ruang-ruang minoritas dan ruang adat. Munculnya kebutuhan atas lahan yang masif menyebabkan tergusurnya eksistensi aktivitas masyarakat adat dengan ruang hidupnya sehingga berujung pada pemarjinalan masyarakat adat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dari perspektif global, terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya perampasan lahan (land grabbing). Faktor penyebab perampasan lahan yang berkaitan erat dengan lahan masyarakat adat saat ini adalah peningkatan kebutuhan pangan murah, peningkatan permintaan akan bio-energi (sawit) dan komoditas non-pertanian (kayu), serta perkembangan kawasan konservasi, lindung, dan ekowisata[1]. Faktor-faktor ini juga diperkuat dengan lemahnya pengakuan atas wilayah adat oleh pemerintah. Berdasarkan catatan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara tahun 2018, hanya 37% wilayah adat yang telah diakui secara hukum dari luas wilayah adat hasil pemetaan sementara di Indonesia seluas 9,65 juta hektare. Terdapat catatan bahwa 62% dari 9,65 juta hektare wilayah itu belum memiliki perizinan yang tentu saja menjadi rentan atas upaya pemanfaatan oleh pihak lain.
Pertumbuhan penduduk menyebabkan peningkatan pada kebutuhan pangan yang berarti produksi pangan harus ditingkatkan demi tercapainya kedaulatan pangan. Terdapat dua opsi untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi merupakan peningkatan produktivitas suatu lahan sementara ekstensifikasi berarti melakukan perluasan lahan. Ekstensifikasi lahan pertanian inilah yang menjadi faktor penyebab alih fungsi lahan. Berdasarkan logika ekstensifikasi ini, Indonesia masih membutuhkan 5,3 juta hektare lahan sawah untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan pangan pada tahun 2045.[2]
Permintaan lahan untuk memenuhi ekstensifikasi pertanian dikabulkan dengan cara legalisasi alih fungsi lahan. Contohnya adalah kebijakan food estate atau kerap disebut proyek ‘cetak sawah’ di Kalimantan Tengah. Proyek ini adalah buah dari kebijakan pemerintah dalam menanggapi masalah meningkatnya kebutuhan pangan nasional. Namun, mengutip dari Tempo.co, masyarakat adat dalam proses alih fungsi lahan seluas 200.000 hektare ini menjadi pihak yang dirugikan. Dalam artikel Tempo tersebut, Suku Dayak sebagai masyarakat adat setempat dikatakan seperti ‘mengungsi’ di tanah mereka sendiri. Kearifan lokal mereka dalam mempertahankan kedaulatan pangan lokal tergantikan oleh adanya program baru pemerintah yang digarap dengan teknologi modern. Akibatnya, mereka kehilangan akses atas pemanfaatan ruang hidup yang selama ini mereka tinggali.
Komoditas lain yang menjadi penyebab alih fungsi lahan ini adalah sawit. Luas lahan sawit di Indonesia sendiri diperkirakan mendekati 15 juta hektare lahan pada tahun 2020. Dengan lahan seluas tersebut, sawit menjadi komoditas yang berkontribusi sebesar 3,5 persen dari total GDP negara serta menyuplai hingga 40 persen kebutuhan minyak sawit dunia. Kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian negara ini membuat sawit menjadi komoditas yang produksinya dilestarikan dan bahkan berusaha ditingkatkan. Namun, selain menyebabkan deforestasi, ekspansi lahan sawit juga merupakan penyebab dari 60% konflik agraria pada tahun 2018. Dikutip dari Katadata, tumpang tindih perizinan hak guna usaha (HGU) sawit dengan wilayah komunitas adat juga dijumpai di 211 wilayah yang luasnya mencapai 313.687 hektare. Di Papua contohnya, masuknya perusahaan perkebunan sawit menyebabkan tergusurnya masyarakat adat atas hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka.
Tidak hanya HGU sawit, pemerintah telah memberikan berbagai izin kepada para pemilik modal untuk melakukan pemanfaatan atas lahan, baik di darat maupun di perairan. Pemerintah beranggapan bahwa pemberian izin ini akan meningkatkan pertumbuhan perdesaan meskipun pada kenyataannya komunitas lokal rentan kehilangan akses atas lahan tersebut.[3] Tidak hanya persoalan pemberian izin, hak pemanfaatan wilayah yang kurang jelas juga menjadi permasalahan dalam dinamika masyarakat adat. Di wilayah pesisir, misalnya, kurang tegasnya peraturan pemerintah mengenai pemanfaatan laut menyebabkan adanya persaingan pemanfaatan antara masyarakat lokal dan pengusaha skala besar serta nelayan pendatang. Peristiwa ini dijumpai di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satunya adalah pemanfaatan laut oleh nelayan andon dari Sulawesi Selatan dan masyarakat adat Fak Fak secara bersamaan di wilayah yang sama. Juga kejadian klaim wilayah oleh resort asing di Selayar, Sulawesi Selatan yang menyebabkan nelayan lokal tidak dapat masuk ke wilayah tersebut.
Eksistensi masyarakat adat juga terancam oleh kehadiran proyek-proyek pembangunan yang gencar dilakukan oleh pemerintah yang disebut menguntungkan secara ekonomi. Hal ini terjadi lantaran masyarakat adat dinilai tidak berkontribusi signifikan terhadap perekonomian negara dibandingkan para pemodal besar. Padahal, menurut penelitian yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dengan Perwakilan masyarakat adat dan Tim ahli ekonomi (UI, IPB dan Unpad) tahun 2018, valuasi ekonomi atas produk sumber daya alam dan jasa lingkungan adat ternyata lebih besar nilainya dibandingkan perekonomian daerah. Di hutan adat Komunitas Seberuang, Sintang, Kalimantan Barat, valuasi ekonomi atas wilayah adat ini mencapai 36,43 juta per kapita per tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan perekonomian daerah sebesar 27,89 juta per kapita per tahun.
Banyak ancaman yang dihadapi masyarakat adat di tengah arus pembangunan yang begitu hebat. Pendampingan dan komitmen serius untuk melindungi hak-hak masyarakat adat atas ruang hidupnya sangat diperlukan. Hingga kini, peraturan perundang-undangan untuk melindungi masyarakat hukum adat yang tumpang tinding rentan menghasilkan ketidakpastian hukum untuk masyarakat adat. Maka dari itu, pengesahan rancangan undang-undang masyarakat hukum adat perlu segera disahkan untuk melindungi hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Penulis: Megantara Massie – KS Spasial
Referensi
[1] Zoomers, A. (2010). Globalisation and the foreignisation of space: seven processes driving the current global land grab. The Journal of Peasant Studies, 37(2), 429–447. doi:10.1080/03066151003595325
[2] Mulyani, Anny & Agus, Fahmuddin. (2018). Kebutuhan dan Ketersediaan Lahan Cadangan Untuk Mewujudkan Cita-Cita Indonesia Sebagai Lumbung Pangan Dunia Tahun 2045. Analisis Kebijakan Pertanian. 15. 1. 10.21082/akp.v15n1.2017.1-17.
[3] Zoomers, A. (2010). Globalisation and the foreignisation of space: seven processes driving the current global land grab. The Journal of Peasant Studies, 37(2), 429–447. doi:10.1080/03066151003595325. p.436