Pemerintah Indonesia memanfaatkan tiga kegiatan utama restorasi lahan gambut yaitu pembasahan gambut (rewetting), penanaman kembali (revegetasi) dan pemberdayaan ekonomi penduduk local (revitalisasi) (BRG 2016). Kegiatan ini diharapkan dapat menangani risiko sistemik dari kebakaran gambut. Restorasi dimulai dengan kegiatan pembasahan sekat saluran, pembangunan dan perbaikan sekat kanal serta penimbunan kembali saluran pada lahan gambut. Pemblokiran / penimbunan saluran yang tepat dapat meningkatkan permukaan air tanah. Kegiatan ini akan sangat efektif dilaksanakan di seluruh Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang merupakan sistem pengelolaan air terintegrasi,. (Harrison et al. 2020). Setelah pembasahan gambut, diperlukan revegetasi untuk menyelesaikan restorasi biofisik lahan gambut. Revegetasi dilaksanakan melalui pelatihan budidaya dan pembuatan rumah pembibitan, pembukaan lahan tanpa bakar, dan penanaman pohon komoditas yang telah disepakati.
Mata pencaharian pedesaan juga harus direvitalisasi untuk mengurangi tekanan sosial dan ekonomi masyarakat akibat lahan gambut yang telah dibasahi. Revitalisasi dilaksanakan melalui implementasi model bisnis berbasis barang dan jasa yang telah disepakati sekaligus penguatan kelembagaan melalui pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH) dan fasilitasi serta penguatan kelompok pengelola. Kegiatan restorasi ini akan membantu mendukung pembasahan kembali gambut ke tingkat mendekati alami dan membentuk tutupan vegetasi pelindung. Dengan mengurangi pengeringan, lahan gambut akan lebih tidak rentan terhadap risiko kebakaran (Giesen dan Sari 2018).
Daftar Pustaka
BRG (Badan Restorasi Gambut). 2016. Rencana Strategis Badan Restorasi Gambut 2016–2020. Jakarta: BRG
Giesen, W. and Nirmala, E., 2018. Tropical peatland restoration report: The Indonesian case. Berbak Green Prosperity Partnership, MCA-Indonesia, Jakarta.
Harrison, M.E., J.B. Ottay, L.J. D’Arcy, S.M. Cheyne, Anggodo, C. Belcher, L. Cole, et al. 2020. “Tropical Forest and Peatland Conservation in Indonesia: Challenges and Directions.” People and Nature 2 (1): 4–28.