Lompat ke konten

DAMPAK KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL DI WILAYAH KERJA PERHUTANI

Perubahan bentuk skema di wilayah Perhutani menimbulkan polemik dan pertarungan narasi / wacana terutama antara Perhutani dan KLHK. Dalam aturan terbaru mensyaratkan bahwa Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) dapat diajukan apabila tutupan tegakan hutan kurang dari atau sama dengan 10% selama 5 tahun atau lebih. Sedangkan pada areal yang terdapat konflik dengan masyarakat dapat diberikan IPHPS sehingga otomatis skema PHBM dapat tergantikan dengan skema baru tersebut. Pergeseran bentuk Perhutanan Sosial dari PHBM ke IPHPS mengindikasikan bahwa PHBM selama ini dianggap belum berhasil meningkatkan partisipasi dan pendapatan masyarakat sekitar hutan yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan

Narasi kemunculan PS di Wilayah Perhutani

Kebijakan PS terutama di wilayah kerja Perhutani merupakan satu kebijakan yang bersifat khusus karena merupakan lex spesialis (hukum khsuus) di Pulau Jawa. Sebelumnya melalui P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial di Indonesia, penerapan PS di wilayah Perhutani terbatas pada skema Kemitraan Kehutanan yang kemudian dikenal dengan Kulin-KK. Skema lain seperti HKm dan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) dapat diterapkan di wilayah perhutani namun terbatas hanya di hutan lindung. Hal tersebut memunculkan diskursus / narasi berupa desakan dari para Civil Society Organization (CSO). P.83/2016 tidak menjawab permasalahan hutan yang ada di Jawa. Penetapan HPHD dan HKm di wilayah Perhutani tidak menyasar pada inti permasalahan hutan di Jawa yang sebenarnya kerusakan hutan, konflik lahan dan sosial banyak terjadi di hutan produksi.

Terdapat beberapa narasi yang dihimpun dari narasumber atau aktor tingkat nasional terhadap definisi masalah yang mendasari lahirnya kebijakan PS selain adanya desakan dari CSO. Narasi dihimpun dari narasumber antara lain: Pokja PS Nasional, Sekretaris Reforma Agraria KLHK sekaligus anggota Pokja Nasional, Staff KSP bidang Agraria, Mantan Dirjen Planologi KLHK dan narasi teks dari CSO Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa seperti terhimpun dibawah ini: pertama, kuasa lahan oleh Perhutani di Jawa yang mencapai 2,4 juta Ha tidak dimanfaatkan secara optimal terutama untuk memproduksi tanaman pangan bagi masyarakat sekitar (distribusi hutan bagi pangan). Kedua, Kondisi tegakan dan tutupan hutan Perhutani yang rendah. Ketiga, Program PHBM yang dilaksanakan selama 15 tahun belum berhasil meningkatkan status sosial ekonomi masyarakat dan memperbaiki kondisi hutan. Keempat, Konflik lahan antara Perhutani dan masyarakat masih terjadi.

IPHPS dan Kulin-KK

Dalam pelaksanaan dan implementasinya tidak hanya menggunakan skema IPHPS namun pemohon maupun pengusul dapat mengajukan ijin dengan skema kemitraan. Skema kemitraan ini diterapkan di areal Perhutani mengacu pada P.83/2016 pasal 40 bahwa pengelola hutan atau pemegang ijin wajib melaksanakan pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan. Pengelola hutan disini termasuk Perhutani sebagai badan usaha milik negara, sehingga dari sini muncul istilah Kulin-KK (Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan). Istilah Kulin-KK hanya muncul di Jawa merupakan kelanjutan dari PHBM yang sebelumnya sudah berjalan dengan perbaikan mengikuti aturan di P.83/2016.

Narasi dibalik keluarnya peraturan mengenai Perhutanan Sosial di wilayah kerja Perhutani muncul dari pihak Pemerintah melalui KLHK dan CSO dengan pihak Perhutani yang menerima dampak terhadap kebijakan tersebut. Narasi yang berkembang dari aktor pemerintah maupun CSO menyebutkan bahwa Perhutani sebagai pemegang mandat hutan di Jawa belum mampu untuk memperbaiki kondisi hutan dan kondisi sosial masyarakat. Pemanfaatan lahan hutan sebagai lumbung pangan belum berjalan maksimal karena akses masyarakat didalam mengelola hutan terbatas. Perhutani membawa narasi bahwa kebijakan baru tersebut menabrak beberapa aturan sebelumnya seperti PP No.6/2007 jo PP No.3/2008 dan PP No.72/2010 tentang Perhutani. Sehingga terjadi counter narasi dalam perjalanan kebijakan PS di wilayah kerja Perhutani dengan aktor dan kepentingan yang berbeda.

 

Daftar Pustaka

Pratama, A. A. (2019). Lessons Learned from Social Forestry Policy in Java Forest: Shaping the Way Forward for New Forest Status in ex-Perhutani Forest Area. Jurnal Ilmu Kehutanan, 13(2), 127. https://doi.org/10.22146/jik.52092

Ramadhan, R., & Amalia, R. N. (2021). Analisis Narasi/Diskursus Terhadap Kebijakan Perhutanan Sosial Di Wilayah Kerja Perhutani. Wahana Forestra: Jurnal Kehutanan16(1), 1-13.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.