Lompat ke konten

KONTROVERSI UU CIPTAKER MENGENAI PENGHAPUSAN BATAS MINIMAL KAWASAN HUTAN SEBESAR 30 PERSEN

UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang belum lama ini disahkan membahas salah satu substansi yang cukup menarik dan banyak diperdebatkan, yaitu mengenai revisi UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan tepatnya pada pada pasal 18 ayat 2 yaitu penghapusan batas minimal kawasan hutan 30 persen. Bagian yang paling menarik sebenarnya adalah angka 30 persen dan bagi orang awam pasti menjadi pertanyaan, seperti dari manakah sebenarnya asal-usul angka 30 persen tersebut? Sebagian besar berpendapat angka ini merupakan adopsi dari pemerintahan Hindia Belanda dan dulu banyak pihak berpendapat angka 30 persen ini tepat untuk menentukan luasan minimum kawasan hutan. Angka ini kemudian dijadikan kurikulum pendidikan di berbagai pendidikan khususnya perguruan tinggi, menjadi sebuah rujukan dalam mengambil kebijakan politik, dan menjadi dasar sebagai diskusi maupun artikel ilmiah. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai sejarah dari ketentuan luas minal kawasan hutan 30 persen,ada 3 istilah penting yang perlu kita perhatikan yaitu: hutan, kawasan hutan, dan angka 30 persen.

Menurut FAO hutan adalah sebagai suatu lahan dengan ciri: (1) Luasan lebih dari 0,5 hektare; (2) Ditumbuhi pepohonan yang tingginya lebih dari 5 meter; dan (3) Penutupan tajuk lebih dari 10 persen atau pohon-pohon yang mencapai ambang batas tersebut di alam setempat. Meski kriteria dari FAO ini sudah cukup jelas, setiap lima tahun FAO juga memberikan perubahan yang turut mempengaruhi kondisi sosial, ekonomi, dan politik di berbagai negara. Pengertian hutan sendiri memiliki arti yang berbeda-beda tergantung dari sudut pandang mana hutan tersebut dilihat, sehingga pengertian hutan sediri bersifat multi definisi, multi tafsir, dan multi kriteria. Di Indonesia, definisi dan kriteria tentang hutan bahkan hingga kini masih menjadi perdebatan. Namun rujukan yang yang resmi dan sah adalah UU No.41 tahun 1999, yang menjelaskan pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Indonesia memiliki luas wilayah daratan sekitar 190 juta hektare. Dari luas wilayah daratan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu kawasan non-hutan dan kawasan hutan. Kemudian kawasan hutan terbagi menjadi beberapa fungsi pokok yaitu hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi. Luas dari hutan lindung adalah 29 juta ha, hutan konservasi seluas 22 juta ha, sedangkan hutan produksi terbagi lagi menjadi 3 yaitu: hutan produksi terbatas seluas 26 juta ha, hutan produksi 29 juta ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 12 juta ha (KLHK, 2018).

Setelah ditelusuri, angka 30 persen dibahas oleh ahli kehutanan dalam artikel Davis dan Robbins pada tahun 2018 yang berjudul “Ecologies of the colonial present: Pathological forestry from the taux de boisement to civilized plantations”, dijjelaskan pada buku tersebut bahwa salah satu ide terpenting ilmu kehutanan pada abad ke 18 adalah ajaran taux de boisement. Pada prinsipnya, konsep ini digunakan untuk menentukan persentase tutupan hutan atau koefisien luas hutan di suatu wilayah atau negara. Peyempurnaan luas minimal hutan sebesar 30 persen sudah dibahas sejak abad ke 18 dan terus menyebar dan diakui oleh kalangan rimbawan Eropa pada awal abad ke 20. Para rimbawan Eropa juga merasa bahwa konsep 30 persen ini perlu direplikasi di negara jajahannya dengan harapan negara jajahan tersebut dapat meniru negara-negara Eropa yang saat itu dianggap sebagai pusat peradaban.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sekitar awal abad 20, seorang ahli kehutanan, Professor Dr. Ir. Van Arstson, mengadopsi angka 30 persen dalam pengelolaan hutan di Jawa. Menurutnya sekitar 30 persen wilayah daratan pulau Jawa seharusnya memiliki tutupan berupa hutan. Kemudian saat Indonesia sudah merdeka, angka minimal hutan 30 persen ditetapkan dalam peraturan perundangan, yaitu Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967. Sebenarnya peraturan ini pernah direvisi pada era reformasi, namun angka 30 persen kembali muncul pada Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Berdasarkan uraian di atas sebenarnya memang perlu dilihat lagi mengapa angka 30 persen ini dihapus, Meski dari segi teknokratis atau teknis memungkinkan untuk menghitung luas kawasan hutan minimal, namun sebuah kebijakan juga mempertimbangkan aspek lain seperti faktor legalitas dan faktor politis. Pengambil keputusan pun akan memikirkan matang-matang demi kepentingan pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat (Widiaryanto,2020). Jika melihat gambaran yang telah dibahas sebelumnya, maka jika melihat dari aspek sejarah angka 30 persen adalah sebuah praktik dari doktrin pemerintahan Hindia-Belanda. Penetapan angka 30 persen tersebut muncul di masa lalu dan kurang relevan untuk diterapkan di masa sekarang, disisi lain juga tidak sesuai dengan kajian ilmiah dan kondisi lapangan. Untuk itu penetapan luasan kawasan hutan di wilayah daerah harus ditinjau kembali variabel-variabel lain yang dapat menentukann angka minumun dari luasan kawasan hutan di sebuah wilayah.

Konsekuensi dari penghapusan angka 30 persen kawasan hutan, antara lain Bagi provinsi dengan kawasan hutan dengan luas dibawah 30 persen harus membeli lahan untuk dijadikan kawasan hutan sebagai pengganti, bagi provinsi dengan kawasan hutan diatas 30 persen akan memicu menurunkannya menjadi 30 persen, bagi provinsi dengan kawasan hutan diambang atau di bawah 30 persen, cenderung tidak mau menyelesaikan masalah tenurial/penguasaan tanah dalam kawasan hutan, dan jika terdapat kawasan hutan yang kondisi sudah tidak berhutan dan digarap/dimanfaatkan oleh masyarakat.

 

Referensi :

Davis, D.K. and Robbins, P., 2018. Ecologies of the colonial present: Pathological forestry from the taux de boisement to civilized plantations. Environment and Planning E: Nature and Space1(4), pp.447-469.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Widiaryanto, P. 2020. Rasionalitas Kebijakan Konsepsi Hutan dan Penghapusan Batas Minimal Kawasan Hutan 30 Persen. Gema Publica: Jurnal Manajemen dan Kebijakan Publik5(2), pp.140-155.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.