Lompat ke konten

Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Di Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Aspek Perencanaan, Pemanenan, Pemasaran Dan Bagi Hasil

Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan salah satu skema perhutanan sosial yang memberikan akses kepada masyarakat untuk melakukan pengelolaan hutan baik di hutan produksi maupun hutan lindung. Pengelolaan diserahkan pada pemegang izin HKm yang sepenuhnya dilakukan oleh kelompok tani di sekitar hutan, disebut sebagai Kelompok Tani HKm (KT-HKm). KT-HKm memiliki keleluasaan dalam menyusun rencana kegiatannya secara mandiri. Dalam hal ini bukan hanya terbatas pada bentuk partisipasi masyarakat saja, tetapi masyarakat juga mempunyai tanggung jawab secara langsung terhadap keberhasilan pengelolaan. Kabupaten Gunungkidul merupakan kabupaten yang memiliki 35 Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (KT-HKm). Pada tahun 2019 terdapat 14 KT-HKm yang mengajukan izin pemanenan, tetapi hanya 8 KT-HKm saja yang memperoleh izin. Terdapat kendala pengelolaan yang dihadapi oleh masing-masing KT-HKm seperti perencanaan yang belum matang, kurangnya sumber daya manusia, ketidaksesuaian antara rencana pemanenan dengan pelaksanaannya dan pelaksanaan pemanenan yang kurang efektif sehingga berdampak pada hasil produksi yang diperoleh. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengelolaan HKm berdasarkan aspek pemanenan serta pemasaran dan bagi hasil pada tiga KT-HKm di Gunungkidul, Yogyakarta yang melakukan kegiatan pemanenan pertama kali sejak dikeluarkannya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kemasyarakatan (IUPH-HKm).

Ketiga KT-HKm tersebut adalah Sedyo Rukun, Sumber Wanajati II, dan Tani Manunggal. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi lapangan, wawancara mendalam dengan pihak-pihak terkait dan studi dokumen. Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif untuk menggambarkan mekanisme pengelolaan di ketiga HKm pada aspek perencanaan dan pemanenan. Aspek perencanaan dalam kehutanan merupakan salah satu hal yang penting untuk mewujudkan penyelenggaraan kehutanan yang efektif dan efisien untuk mencapai manfaat fungsi hutan yang optimum dan lestari. Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan. Pada aspek perencanaan, pengelolaan HKm dapat dilihat dari proses penyusunan dokumen, keterlibatan dan pemahaman KT-HKm dalam penyusunan dokumen perencanaan, kendala pembuatan dokumen, serta implementasi dan evaluasi RKT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem perencanaan pada ketiga HKm secara umum telah sesuai prosedur. Proses penyusunan dokumen perencanaan ketiga HKm dilakukan secara partisipatif dan difasilitasi oleh Mantri setempat maupun LSM JAVLEC. Pendampingan yang dilakukan oleh Mantri setermpat dan LSM JAVLEC ini sangat membantu masyarakat karena harus berurusan dengan birokrasi. Dalam penyusunan dokumen para pengurus dan anggota di HKm Tani Manunggal berperan aktif sehingga para pengurus dan anggota paham mengenai dokumen, sedangkan pada HKm Sedyo Rukun anggota hanya memahami teknis lapangan dan pada anggota kelompok tani HKm Sumber Wanajati II memiliki pemahaman yang rendah. Secara umum, pengelolaan HKm selama ini mengacu pada perencanaan yang sudah disusun akan tetapi terdapat beberapa kendala dalam implementasinya.

Apek pemanenan adalah proses memindahkan atau mengambil hasil hutan (kayu atau non kayu) dari dalam areal hutan untuk dibawa ke konsumen atau industri pengelolaan hasil hutan dengan mencakup kegiatan sebelum dan sesudah pemanenan. Pemanenan hutan terdiri atas beberapa kegiatan, antara lain penebangan dan pembagian batang, penyaradan, muat bongkar, serta pengangkutan. Pemanenan yang dilakukan di HKm dilakukan pada lahan dan Kelompok yang telah memiliki izin penebangan. Kegiatan pemanenan pada ketiga HKm memiliki tujuan yang berbeda-beda, dimana HKm Sumber Wanajati II melakukan tebangan habis dengan luasan 20 ha, HKm Sedyo Rukun melakukan tebangan habis pada blok 1 seluas 9 ha, serta HKm Tani Manunggal melakukan tebangan penjarangan dengan luasan 10,4 ha.

Sistem pemanenan pada ketiga HKm secara umum telah sesuai prosedur dengan diawali kegiatan perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pemanenan. Ketiga KT-HKm merencanakan pemanenan untuk tujuan yang berbeda-beda, dimana ada yang melakukan pemanenan untuk memperoleh keuntungan dari hasil penjualan kayu dan ada yang melakukan pemanenan untuk kegiatan pemeliharaan tegakan (penjarangan). Pada pelaksanaan pemanenan hasil hutan kayu terdapat perbedaan teknik penebangan di masing-masing KT-HKm. Perbedaan ini menyebabkan tingkat produktivitas yang berbeda pula pada ketiga KT-HKm. Perbedaan tingkat produktivitas ini akan mempengaruhi perbedaan pendapatan pada setiap KT-HKm dan dapat dijadikan sebagai evaluasi untuk pelaksanaan pemanenen selanjutnya. Dalam pelaksanaan pemanenan, masyarakat sekitar turut berpartisipasi dalam pelaksanaannya, terutama yang tergabung sebagai anggota KT-HKm. Namun yang menjadi bahan evaluasi adalah mekanisme pemanenan pada keseluruhan KT-HKm belum menerapkan prinsip RIL (Reduce Impact Logging) dan K3, dimana para pelaku pemanenan belum mengenakan APD secara lengkap dan sesuai prosedur.

Tahapan selanjutnya setelah dilakukan penebangan ialah pemasaran produk kayu yang telah dilakukan pemanenan. Menurut Muktassam dan Amiruddin (2019) masalah yang sering dihadapi dalam pemasaran hasil hutan antara lain adalah harga kayu yang relatif murah; hambatan dalam perizinan yang disebabkan oleh dua hal  yaitu ketidaktahuan masyarakat terhadap proses dan persyaratan yang harus dilalui dan dipenuhi, dan tidak dimilikinya bukti kepemilikan terhadap lahan (sertifikat tanah atau sporadik, bukti telah mendaftarkan lahan untuk proses penerbitan sertifikat). Selain itu juga, petani tidak memiliki jaringan dan informasi pasar, sementara persoalan modal menjadi penghambat untuk mengolah dan memasarkan sendiri hasil hutan. Pendapatan petani dari lahan HKm cukup beragam. Hal tersebut dipengaruhi oleh luas lahan, jenis komoditas yang dipanen, jumlah hasil panen, frekuensi panen tiap komoditas, dan harga jual komoditas. Tingkat kontribusi pendapatan dari lahan Hkm merupakan hasil persentase dari perbandingan pendapatan masyarakat yang berasal dari program HKm dengan total penjumlahan pendapatan masyarakat dari lahan HKm dan di luar lahan HKm (Arniawati, dkk., 2017).

Sistem pemasaran yang digunakan pada KTHKm Tani Manunggal yaitu sistem pemasaran secara tidak langsung dengan menggunakan perantara yaitu LSM JAVLEC. Sedangkan pada KTHKm Sumber Wanajati II, sistem pemasaran yang digunakan yaitu pemasaran secara langsung dengan pihak pembeli. Dalam bagi hasil, KTHKm Sedyo Rukun menggunakan sistem bagi hasil yaitu penjualan kayu dikurangi dengan biaya PSDH (pajak) dan biaya operasional, selanjutnya dibagi kepada anggota KTHKm Sedyo Rukun yang memiliki andil pada blok yang dilakukan tebangan. KTHKm Tani Manunggal, mekanisme bagi hasil yang digunakan yaitu hasil penjualan kayu dikurangi dengan biaya PSDH (pajak) dan biaya operasional, kemudian sisanya dimasukkan dalam kas KTHKm Tani Manunggal. Sedangkan mekanisme bagi hasil yang dilakukan pada KTHKm Sumber Wanajati II yaitu hasil penjualan kayu dikurangi dengan PSDH sedangkan untuk alokasi biaya reboisasi baru direncanakan.

Ketiga KT-HKm Sedyo Rukun, Sumber Wanajati II, dan Tani Manunggal merupakan beberapa KTHKm yang pertama kali melakukan kegiatan pemanenan di Indonesia, secara garis besar mereka telah berhasil melaksanakannya dengan baik. Sehingga kegiatan pemanenan yang dilakukan oleh ketiga HKm tersebut dapat dijadikan gambaran oleh HKm-HKm lain di Indonesia yang akan melakukan kegiatan pemanenan.

 

Referensi:

Arniawati dan Satya Agustina.L. 2017. Kontribusi Program HKm Terhadap Pendapatan Masyarakat. Ecogreen. Vol.3 (2): 89-95.

Muktassam dan Amiruddin. 2019. http://old.worldagroforestry.org/ . Diakses pada 8 Oktober 2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.