Pemerintah kembali menunjukkan keseriusannya dalam mewujudkan pemerataan ekonomi, kali ini melalui reforma agraria. Kebijakan ini bertitik berat pada proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan/akses, dan penggunaan lahan, yang dilaksanakan melalui jalur Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial (PS). Melalui program reforma agraria ini, pemerintah mengalokasikan kepemilikan lahan TORA dan pemberian legalitas akses perhutanan sosial kepada masyarakat bawah.
“Reforma agraria ini merupakan salah satu pilar dari Kebijakan Pemerataan Ekonomi. Dasar dari Kebijakan Pemerataan Ekonomi adalah pemikiran bahwa tidak cukup hanya memberikan equality (kesamaan perlakuan), tetapi perlu diberikan aset/modal (equity) kepada penduduk ekonomi lemah,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution saat menjadi narasumber dalam diskusi media bertajuk ‘Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial’ pada Minggu (26/3) di Galeri Nasional, Jakarta.
Hadir pula sebagai narasumber yaitu Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil, serta Sekretaris Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Yuyu Rahayu. Diskusi dimoderatori oleh Staf Ahli Dirjen Informasi dan Komunikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad Kurnia Soeriawidjaja.
Menurut Menko Darmin, Kebijakan Pemerataan Ekonomi merupakan kebijakan ekonomi afirmatif yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat ekonomi lemah dan menengah agar memiliki equity, kesempatan, dan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berdaya saing.
Lebih lanjut, ia menjelaskan ada enam tujuan Reforma Agraria. Pertama, untuk mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Kedua, untuk menciptakan sumber-sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agrarian. Ketiga, untuk menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan. Selanjutnya yang keempat, untuk memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi. Kelima, untuk meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Serta, pemerintah juga berharap program ini dapat memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup serta menangani dan menyelesaikan konflik agraria.
Darmin pun menjelaskan perbedaan dari TORA dan perhutanan sosial. Jika TORA adalah hak milik atas tanah, maka perhutanan sosial adalah hak akses/izin/kemitraan pengelolaan hutan. Adapun luasan maksimal penguasaan lahan/hutan pada TORA ditentukan berdasarkan kepadatan penduduk, jumlah penduduk miskin, dan ketimpangan kepemilikan lahan. Sementara pada perhutanan sosial, luasan maksimal didasarkan atas tingkat kepadatan penduduk, jumlah penduduk miskin, fungsi hutan (konservasi, lindung, produksi), serta jenis pemanfaatan (kayu/non-kayu).
Namun, baik TORA maupun perhutanan sosial, pengelolaannya akan dilakukan secara klaster atau kelompok. “Pengelolaan keduanya sama, yaitu dikonsolidasikan dalam satu klaster, dikelola oleh kelompok masyarakat atau koperasi, serta dengan jenis tanaman yang sama untuk satu klaster,” terang Darmin. Hal ini bertujuan agar hasil produksinya lebih berkualitas dan lebih mudah untuk membentuk offtaker (pembeli)-nya.
Menko Darmin pun melanjutkan, pemberdayaan klaster tersebut dilakukan dengan membagi pemanfaatan menjadi beberapa kegunaan, namun utamanya pada penanaman tanaman pangan, holtikultura, dan pengembangan nilai tambah (agroindustri). Ia pun menegaskan bahwa pemerintah akan fokus pada kualitas tanah sebagai objek reforma agrarian, bukan hanya dari segi kuantitasnya saja.
Sementara itu Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil menyebutkan bahwa menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019, program reforma agraria terdiri dari unsur legalisasi aset (4,5 juta ha) dan redistribusi tanah (4,5 juta ha). Pada aspek perhutanan sosial, Yuyu Rahayu menjelaskan kebijakan perhutanan sosial dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat sekitar hutan. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar atau di dalam hutan, diberikan akses dalam bentuk pemberian hak pengelolaan, ijin usaha pemanfaatan, dan kemitraan kehutanan, sementara bagi masyarakat hukum adat diberikan penetapan hutan adat.
Referensi :
https://ekon.go.id/berita/view/reforma-agraria-sinkronisasi.3240.html