KEHUTANAN SOSIAL : HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)
Pada awalnya kehutanan Indonesia lebih menekankan pada sumber daya hutan kayu (Timber Management), problem sosial belum jadi asupan dalam pengelolaan hutan berkelanjutan. Tetapi sejak tahun 1972, kehutanan di Indonesia melalui Perhutani berusaha melibatkan peran-peran sosial masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan hutan. Lalu dimulai pada tahun 2006 Kementrian Kehutanan mulai mencanangkan skema pemberdayaan masyarakat yang kemudian dikenal dengan program perhutanan sosial atau kehutanan sosial.
Pada pembangunan sektor kehutanan di Indonesia, seharusnya menerapkan pembangunan sumber daya hutan yang lebih dekat dengan karakter daerah masing-masing dengan cara pembagian wewenang ke arah desentralisasi pembangunan sumber daya hutan mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan. Desentralisasi berarti tindakan dimana pemerintah pusat secara resmi menyerahkan kekuasaan untuk pemerintah daerah dalam hierarki politik-administratif.
Kehutanan sosial sendiri memunculkan adanya sebuah istilah pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat ini muncul karena praktik-praktik pembangunan yang dilakukan di Indonesia tidak menghasilkan perubahan menuju masyarakat mandiri, tetapi menghasilkan model ketergantungan. Kelemahan dari pelaksanaan kehutanan sosial di Indonesia adalah lemahnya penyiapan masyarakat petani, rendahnya perhatian pemerintah pada akses permodalan usaha kehutanan sosial, lemahnya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan ketidakpastian pasar dari produksi hasil kehutanan sosial.
Untuk membuka akses masyarakat dalam pengelolaan hutan, maka Departemen Kehutanan pada tahun 1998 mengeluarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.677/kpts-ii/1998 tentang HKm. Melalui SK tersebut, masyarakat dimungkinkan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari kawasan hutan lindung. Dalam konteks pendanaan, pemerintah melalui KLHK mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan akses terhadap permodalan dalam pengelolaan hutan melalui Pinjaman Dana Bergulir (PDB). Namun, PDB ini hanya terbatas pada program Hutan Tanaman Rakyat dan Hutan Rakyat saja, untuk HKm belum mendapat akses permodalan.
Hutan kemasyarakatan (HKm) merupakan salah satu upaya dalam pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dan peningkatan kondisi hutan (Maryudi, 2012 dalam Awang, 2019), memberi akses pada masyarakat sekitar hutan untuk mengelola hutan, dan juga untuk mengembangkan kapasitas masyarakat guna menjamin ketersediaan lapangan kerja untuk memecahan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat.
HKm dapat diimplementasikan pada semua jenis kawasan hutan baik hutan produksi maupun hutan lindung, dengan jenis tanaman yang dikembangkan berbeda-beda sesuai dengan kondisi biofisik wilayahnya, dimana sistem penanaman yang dikembangkan adalah multistrata tajuk. Sistem multistrata tajuk memiliki dua fungsi yaitu fungsi perlindungan terhadap tanah dan fungsi finansial dengan memberikan pendapatan bagi petani secara berkelanjutan.
Dalam Permenhut No.P.88/Menhut-II/2014 mengenai HKm disebutkan bahwa pengelolaan HKm bertujuan meningkatan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan HKm dilaukan dengan proses fasilitasi dan pendampingan.Oleh karena itu, implementasi dari HKm memerlukan kerjasama dari berbagai pihak seperti pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan perannya.
Saat ini kelompok tani HKm yang telah memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) sebanyak 35 KTHKm di Gunung Kidul dan 7 KTHKm di Kulon Progo. Izin ini diberikan berdasarkan Permenhut No 37 tahun 2007 tentang HKm. IUPHKm telah ditetapkan menhut sebagai areal kerja Hkm dan telah dikerjakan oleh masyarakat Gunug Kidul seluas 1087,45 Ha dan masyarakat Kulon Progo seluas 196,8 Ha.
Isu kelembagaan terkait IUPHKm adalah keharusan bagi kelompok untuk berbadan hukum koperasi. Untuk itu kelompok yang berdekatan bergabung dan membentuk koperasi. Saat ini sudah terbentuk 7 koperasi yg merupakan gabungan dari 35 KTHKm Gunung Kidul dan 7 koperasi di KTHKm Kulon Progo. Pada level desa, KTHKm diperkuat dengan paguyuban. Sedangkan pada level kecamatan., bagian daerah hutan, kabupaten., dan provinsi dilakukan pengembangan didukung oleh instansi pemerintah dan LSM.
Dalam PP No 6 tahun 2007, menyebutkan HKm sebagai salah satu skema pemberdayaan dalam mengelola hutan dan pemegang IUPHKm dapat memanfaatkan HKm selama 35 tahun. Dengan adanya peraturan ini pengembangan yang diperlukan meliputi:
- Pemantapan kelompok tani yang sudah memiliki izin,
- Fasilitasi IUPHKm,
- Perluasan areal kerja,
- Fasilitasi proses produksi,
- Pengembangan SILIN (Silvikultur Intensif),
- Pengembangan microfinance,
- Fasilitasi akses pasar.
Lebih lanjut, Kaskoyo (2014) dalam Awang (2019) menyampaikan bahwa untuk meningkatkan implementasi HKm, pembrdayaan masyarakat baik secara individu maupun kelembagaan harus dibangun sehingga masyarakat mempunyai kesadaran dan kemampuan untuk mengelola hutan. Pendampingan dari LSM, Universitas, Pemerintah, dan stakeholders lain juga diperlukan agar petani atau masyarakat dapat mengimplementasikan HKm dengan baik.
Sumber :
Sanudin dan S. A. Awang. 2019. Evaluasi Kehutana Sosial: Tantangan Generasi 3. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.