Lompat ke konten

MH Artikel

COP 27: Satu Langkah Menuju Lingkungan Hidup yang Lebih Baik

Conference of the Parties 

COP (Conference of the Parties) atau Konferensi Para Pihak dalam bahasa Indonesia merupakan pengambil keputusan tertinggi dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). COP diresmikan dan ditandatangani pada tahun 1992 selama “KTT Bumi” di Rio de Janeiro dan mulai berlaku pada tahun 1994. COP sendiri ada dikarenakan adanya isu perubahan iklim global menjadi tantangan bersama. Dengan tujuan untuk membangun upaya para pihak konferensi untuk mengatasi perubahan iklim, COP dilaksanakan setiap tahun sejak mulai berlaku. Pertemuan tahunan tersebut ditujukan agar adanya peninjauan dan penilaian pelaksanaan UNFCCC dan instrumen hukum lainnya1. Adanya penilaian tersebut diharapkan dapat menjadi langkah kedepan menuju pengurangan emisi gas rumah kaca dan upaya mitigasi perubahan iklim yang kini semakin marak diperbincangkan. read more

Menilik Problema Masyarakat Adat dan Ruang Hidupnya

Bagaimana hak masyarakat adat atas ruang hidupnya?

Melalui putusan MK NO.35/PUU-X/2012, hutan adat sendiri telah lepas dari definisi hutan negara menjadi hutan hak. Putusan MK ini merupakan hasil judicial review yang diajukan oleh AMAN yang merupakan aliansi masyarakat adat dari seluruh Indonesia. Hutan adat yang sah secara hukum merupakan hutan yang dibebani hak milik kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dalam pasal 37 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat berhak untuk memanfaatkan kawasan hutan adat selama tidak bertentangan dengan fungsi kawasan hutan tersebut. Hal ini berarti tindakan pemanfaatan hutan oleh masyarakat hukum adat bukan merupakan tindakan ilegal. Namun, kata hukum mengisyaratkan perlunya pengakuan atas keberadaan masyarakat adat terlebih dahulu sebagai prasyarat dikeluarkannya hutan adat dari kawasan hutan negara. read more

Penyelamatkan hutan Jawa hanya satu, yaitu Perubahan

Kondisi hutan di Jawa kian memprihatinkan dengan degradasi tutupan lahan hutan. Terdapat beberapa faktor penyebab luas tutupan kawasan hutan di Pulau Jawa semakin berkurang. Saat ini luasnya hanya sekitar 24 persen dari luas pulau atau sekitar yakni 128.297 km2. Dari 24 persen kawasan hutan di Pulau Jawa tutupan hutannya hanya sekitar 19 persen. Semakin mengecilnya hutan di Pulau Jawa dengan penduduk terpadat di Indonesia ini dikarenakan beberapa penyebab, yaitu alih fungsi hutan untuk lahan pertanian, pemukiman, industri, infrastruktur, kawasan komersial, dan lainnya[1]. Hal ini lainnya juga dapat diperburuk dengan terdapatnya konflik lahan serta illegal logging yang menjadi penunjang permasalahan degradasi kawasan hutan [2]. Dampak karena adanya alih fungsi hutan itu sehingga kawasan hutan menjadi hilang, rusak, terpecah-pecah, dan hal ini mengancam keanekaragaman hayati di dalamnya. Dampak lainnya yang terjadi adalah, krisis air, bencana banjir, tanah longsor, dan konflik satwa[1]. read more

Foretasi di semua lahan,bijakkah?

Krisis iklim semakin terlihat hingga hari ini. Kerusakan lingkungan mulai bermunculan di setiap negara mulai dari badai pasir ekstrem di Timur Tengah, gelombang panas di Eropa, hingga banyak bermunculan banjir dan tanah longsor di berbagai negara seperti Korea Selatan dan Indonesia. Kondisi berdampak cukup besar bagi keseharian dan kesehatan manusia. Bencana itu bahkan tidak hanya merusak fasilitas umum dan pribadi tetapi juga melenyapkan nyawa puluhan hingga ratusan manusia. Penyebabnya tentu saja karena suhu bumi yang terus naik seiring berjalannya waktu sehingga berakibat pada berbagai hal seperti mencair nya es di kutub serta menaikkan suhu bumi. Belum lagi penghijauan yang telah digalakkan sejak Protokol Kyoto 1997, bukan semakin membaik tetapi malah semakin memburuk saja. Deforestasi yang disengaja untuk pembukaan lahan sektor lain maupun deforestasi karena kebakaran kerap terjadi. Kasus tersebut semakin memperburuk kondisi lingkungan. Lantas langkah apa yang harus ditempuh untuk menanggulangi kerusakan lingkungan ketika ekonomi masih mencekik bagi negara miskin dan berkembang sedangkan permasalahan lahan kependudukan masih sering bermunculan di negara maju? read more

KHDPK: Pendekatan Modern Tuk Selamatkan Hutan Jawa

Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) merupakan suatu kebijakan yang dibuat sebagai suatu terobosan untuk mengatasi permasalahan masyarakat di kawasan hutan Jawa. KHDPK menjadi realisasi mandat UU Cipta Kerja dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang diturunkan dalam PP 23 tahun 2021 tentang penyelenggaraan kehutanan[1]. Sekitar seluas 1,1 juta hektare lahan hutan di Jawa telah ditetapkan sebagai kawasan yang dikelola dibawah kebijakan tersebut. Lahan yang menjadi KHDPK tersebut meliputi kawasan hutan negara yang memiliki fungsi sebagai hutan produksi serta hutan lindung. Lahan tersebut berasal dari wilayah kelola Perum Perhutani yang tersebar di seluruh penjuru Pulau Jawa baik di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, maupun Banten. Dengan demikian penerapan kebijakan KHDPK selain diharapkan mampu merehabilitasi lahan kritis di Pulau Jawa juga diharapkan mampu membantu Perum Perhutani sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk lebih fokus pada bisnis usahanya [2][3]. read more

KHDTK Getas-Ngandong Dalam Upaya Penyelamatan Hutan Jawa

Berbicara mengenai pengelolaan kawasan hutan. Saat ini telah ada aturan baru yang dikeluarkan Menteri LHK tentang Penetapan Kawasan Hutan dan Pengelolaan Tertentu (KHDPT), dimana dalam pembagiannya terdiri dari tiga jenis pengelolaan,diantaranya: Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK), Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP), dan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).  

Aturan yang dikeluarkan oleh Menteri LHK mengenai Kawasan Hutan demgan Pengelolaan Khusus mengalami banyak penolakan. Salah satunya oleh Forum Penyelamatan Hutan Jawa (FPHJ) dengan melayangkan petisi kepada Presiden RI dan Menteri LHK. Isi dari petisi tersebut dibacakan oleh Ketua FPHJ pada tanggal 20 Mei 2022. Berdasarkan penuturan Ketua FPHJ dalam CNN Indonesia, pihak FPHJ khawatir akan timbul konflik agraria akibat dari polemik peraturan baru ini. FPHJ memiliki pandangan bahwasannya KLHK tidak dapat serta merta mengambil alih hutan karena menganggap pengelolaan oleh Perhutani kurang maksimal, sementara penerima lahan yang diambil alih tersebut belum jelas. Keadaan yang tidak jelas ini dikhawatirkan akan dimanfaatkan pihak yang ingin mengambil keuntungan dari peristiwa ini, seperti memperjual belikan atau bahkan mengeksploitasi lahan. Perlu adanya kejelasan dari kata “khusus” yang disematkan dalam aturan baru tersebut. Pihak FPHJ menginginkan pemaparan yang detail dan terbuka serta grand design KHDPK, mereka tak ingin aturan baru tersebut justru mengabaikan potensi kerusakan alam1. Petisi penyelamatan hutan Jawa juga mendapatatkan dukungan dari Minaqu Indonesia. CEO minaqu, Ade Wardhana menilai, Pemerintah seharusnya berperan penting dalam menjaga kelestarian hutan. Alih fungsi hutan lindung dan hutan produksi menjadi KHDPK akan mengurangi kawasan hutan dikarenakan mengarah pada pertanian hortikultura. Dikhawatirkan aturan baru ini bukannya memperbaiki pengelolaan hutan Jawa, tetapi menambah masalah baru yang mempengaruhi stabilitas ekonomi, social, politik, dan keamanan 4.  read more

Peralihan Kawasan Hutan Getas dan Ngandong menjadi KHDTK

Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Getas-Ngandong merupakan hutan yang terletak diantara dua wilayah administratif yaitu Blora, Jawa Tengah dan Ngawi, Jawa Timur. Kawasan tersebut memiliki sejarah pilu sebagai konsekuensi pengembangan infrastruktur dari program Koridor Ekonomi Jawa dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Kawasan ini merupakan daerah yang terkena dampak penjarahan kayu di masa itu1. Permasalahan yang terjadi pada Getas dan Ngandong seperti pencurian kayu, perusakan areal rehabilitasi, dan alih fungsi lahan menjadi pertanian mendorong kerusakan kawasan tersebut. Ditambahnya permasalahan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan2 juga memperkeruh keadaan dalam pengelolaan hutan di wilayah tersebut. Selain itu, metode pengelolaan hutan yang dilakukan Perum Perhutani dirasa kurang tepat sasaran karena berorientasi pada pemanfaatan hasil kayu saja sehingga diperlukan usaha yang keras untuk dapat menjadikan kawasan tersebut menjadi hutan yang berbasis ekosistem.  read more

Wanagama: Monumen Keberhasilan Penyelamatan Lahan Kritis

Wanagama: Monumen Keberhasilan Penyelamatan Lahan Kritis

Source: wanagama.fkt.ugm.ac.id

Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI–Jawa Madura pada tahun 2003 melakukan interpretasi citra yang mana dihasilkan data kawasan hutan Perhutani yang seluas 2.442.101 Ha dan kawasan yang masih lestari hanya sekitar 67,8%. Wilayah kritis dapat dilihat dari perubahan tutupan hutan di Jawa yang semakin menurun setiap tahunnya. Namun pada tahun 2009, luas tutupan hutan tersisa sekitar 800 ribu hektar. Perubahan tutupan hutan ini terjadi karena deforestasi, baik terencana maupun tidak, atau oleh degradasi hutan. Berkurangnya luasan tutupan hutan ini tentu akan berdampak pada terganggunya daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa. Sehingga ancaman bencana yang terjadi di Pulau Jawa, seperti banjir, longsor, kekeringan menjadi sangat mencolok jika dibandingkan dengan kejadian yang sama di daerah Indonesia lainnya. Contoh nyatanya terjadinya banjir bandang yang terus terjadi tiap tahunnya di wilayah Pantura (Pantai Utara) Jawa Tengah yang terbentang di daerah pekalongan hingga brebes. Pada pertengahan maret tahun ini, banjir bandang melanda Kabupaten Brebes hingga menyebabkan rumah warga rusak.  read more

Titik Berat Hutan Jawa

Sumber: https://kmmh.fkt.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/364/2021/01/hutan-rakyat-sengon-11-300×225.jpg

Pulau Jawa seluas 129.438,28 km2 dengan lebih dari 136 juta jiwa tinggal di pulau ini.  Keadaan tersebut menjadikan Pulau Jawa sebagai salah satu daerah terpadat di dunia. Kepadatan pulau Jawa tentu saja berimplikasi pada besarnya tekanan sumber daya alam demi kelangsungan hidup penduduknya. Data yang dipublikasikan oleh BPKH Wilayah XI, Jawa‐Madura (2012) menunjukkan bahwa dari 98 juta hektar kawasan hutan di seluruh Indonesia, hanya sekitar 3,38% saja yang tercatat berada di pulau Jawa4. Catatan BPKH menyebutkan, hutan di Pulau Jawa luasnya (12.960.071 ha), sementara luas kawasan hutan sebesar ± 24% dari luas Pulau Jawa, dengan tutupan hutan +-19%. Hutan tersebut terdiri dari hutan lindung (735.194,560 ha), hutan produksi (1.812.186,050 ha) dan hutan konservasi (76.065,304 ha)2. Hutan lindung dan hutan produksi dikelola oleh Perum Perhutani (kecuali hutan di Provinsi DIY), sedangkan hutan konservasi dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Luas hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani sebanyak 76,83 % dari luas hutan di Pulau Jawa. read more

Konstelasi Hutan Jawa di Masa Lampau

Sistem pengelolaan hutan jawa di masa lalu menganut pada pandangan atau model German Forestry School, model tersebut memiliki prinsip bahwa hutan sepenuhnya dikuasai oleh negara. Model German Forestry School berimplikasi terhadap munculnya konsep Minimum Diversity, konsep yang bertujuan untuk mendapatkan hasil optimal dengan batasan diversitas sehingga muncul istilah pohon komersial, lesser known species, dan economical species yang beberapa istilah tersebut masih sering kita gunakan sampai saat ini. Istilah atau konsep tersebut lahir dikarenakan adanya kebutuhan negara untuk mendapatkan sumber daya ekonomi lebih cepat dan lebih terukur. Kemudian ada juga konsep AAC, konsep yang bertujuan agar penebangan dilakukan sesuai dengan etat dan umur masak tebang. Konsep tersebut lahir untuk mencegah kerugian dalam proses penebangan.  Model sistem penguasaan ini dimulai dari pemerintah kolonial Hindia Belanda hingga masa orde reformasi [1].  read more