Lompat ke konten

Hutan Adat: Penjaga Tradisi, Pelindung Bumi

Penulis : Mayla Fashania dan Alya Eka Safitri


Pendahuluan

Hutan adat menjadi jembatan hubungan manusia dengan alam. Hutan adat dimaknai dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat hukum adat (MHA). Kearifan lokal yang terkandung di dalamnya perlu dilestarikan secara turun temurun. Kepentingan perlindungan hutan adat tidak hanya sebatas menjaga lingkungan, namun juga diperlukan untuk menjaga identitas budaya seperti upacara sakral, sebagai perwujudan nilai-nilai adat yang menjaga keselarasan antara manusia, lingkungan, dan kepercayaan MHA terhadap leluhur. Selain itu, hutan adat berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan hidup MHA melalui pemanfaatan hasil hutannya. Penetapan hutan adat ini menjadi salah satu cara untuk menjamin keberlanjutan alam dan budaya di daerah-daerah di Indonesia. Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai peran penting hutan adat, dinamika penetapan hutan adat, dan tantangan yang akan dihadapi.

Definisi dan Regulasi

Dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, Pasal 1 menyatakan bahwa Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat. Pengakuan terhadap MHA dan wilayah adatnya tertuang dalam Pasal 18B ayat 2 UUD 1945, bahwa negara mengakui keberadaan MHA beserta hak-hak tradisionalnya. Pemerintah juga memperkuat posisi hukum hutan adat melalui berbagai undang-undang, peraturan menteri, dan peraturan daerah, antara lain pada Pasal 28I ayat 3 UUD 1945, bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, lalu Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang menjelaskan bahwa SDA Indonesia dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Juga terdapat dalam Pasal 67 ayat 1 UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menjelaskan hak MHA dan kriteria MHA. Regulasi ini bertujuan memastikan pengakuan, perlindungan, hak pengelolaan, pembagian keuntungan yang adil.

 

Capaian Hutan Adat : 2016–2024

Proses penetapan Hutan Adat di Indonesia berlangsung secara dinamis dengan peningkatan jumlah dan luasan dari tahun ke tahun. Pada 2016, ditetapkan 8 Hutan Adat seluas ±7.950 hektar di Jambi, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Banten. Tahun 2017, jumlahnya bertambah menjadi 9 Hutan Adat dengan luas ±3.341 hektar di Jambi, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Pada 2018, sebanyak 17 Hutan Adat dengan luas ±6.369 hektar ditetapkan di Jambi, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Tahun 2019 terjadi lonjakan dengan penetapan 31 Hutan Adat seluas ±17.450 hektar di Bali, Banten, Jambi, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Pada 2020, terdapat 10 Hutan Adat seluas ±23.758 hektar di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jambi, Maluku, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Tahun 2021, ditetapkan 14 Hutan Adat dengan luas ±17.229 hektar di Bali, Maluku, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, dan Sumatera Utara. Pada 2022, jumlahnya meningkat dengan 19 SK Hutan Adat seluas 77.185 hektar di Kalimantan Barat, Papua, Papua Barat, dan Banten. Tahun 2023, terdapat tambahan 23 Hutan Adat seluas 90.873 hektar di Kalimantan Tengah dan Aceh. Hingga 2024, telah diterbitkan 12 SK Penetapan Hutan Adat seluas ±16.127 hektar di Sumatera Utara dan Bengkulu. Peningkatan jumlah dan luasan Hutan Adat ini didorong oleh kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah, yang mempercepat terbitnya peraturan daerah terkait Masyarakat Hukum Adat serta pelaksanaan verifikasi lapangan oleh Tim Terpadu.

 

Potret Hutan Adat dan Kearifan Lokalnya.

Gambar 1. Kegiatan Masyarakat di Hutan Adat Kajang
Gambar 2. Tempat Ritual Adat oleh Masyarakat Adat Kampung Segumon
Gambar 3. Hutan Adat Rio Peniti
Gambar 4. Pura Beji di Areal Kawasan Hutan Adat Kedaton, Tabanan, Bali
Gambar 5. Aksesibilitas ke Hutan Adat Pulau Barasak, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah
Gambar 6. Padi Lokal Masyarakat Adat Pasir Eurih, Lebak, Banten
Gambar 7. Kondisi Hutan Adat Uma Rokot, Mentawai, Sumatera Barat
Gambar 8. Salah Satu Ritual Masyarakat Adat Tenganan, Karangasem, Bali
Gambar 9. Ketua Masyarakat Adat Dayan Iban Menua Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
Gambar 10. Sesepuh atau Kuncen Masyarakat Adat Tri Kayangan Belimbing (Penjaga Pura), Tabanan, Bali

 

Pentingnya Eksistensi Hutan Adat

Perlu adanya penetapan hutan adat, karena beberapa kepentingan, antara lain untuk pengakuan hutan hak dengan pemberian legalitas kepada MHA dalam melakukan aktivitas pengelolaan dan perlindungan wilayah mereka. Dalam proses penetapannya sendiri diperlukan keterlibatan dari beberapa pihak, yaitu MHA, Pemerintah Pusat dan Daerah melalui Permen LHK dan Perda, Lembaga Adat, serta Organisasi Non-Pemerintah yang mendukung advokasi, pendampingan, dan pengakuan hak MHA. Dengan adanya legalitas ini, dapat membantu mengurangi deforestasi, melindungi biodiversitas, dan mencegah bencana lingkungan yang dapat terjadi, seperti kekeringan, banjir, dsb. Sehingga penetapan dan perlindungan hutan adat sangat penting untuk pelestarian biodiversitas, seperti Harimau Sumatera yang ada di Hutan Adat Rio Peniti, Sarolangun, Jambi. Dalam kepercayaan MHA, terdapat beberapa peraturan adat yang disakralkan dalam setiap hutan adat, yang mana peraturan ini menjadi nilai luhur untuk melestarikan lingkungan, seperti larangan menebang beberapa jenis pohon tertentu. Kearifan lokal dalam hutan adat juga meliputi ritual dan tradisi, yang mana untuk setiap hutan adat pastinya memiliki upacara atau ritual yang berbeda-beda, seperti Hutan Adat Hemaq Beniung, Kutai Barat, Kalimantan Timur yang memiliki ritual berkurban 1 ekor babi dan 1 ekor anjing untuk dapat menebang pohon guna pembukaan lahan, seakan memohon izin dari leluhur mereka. Secara tidak langsung, penetapan atau legalitas ini juga dapat menjaga kelestarian tradisi lokal yang wajib diwariskan secara turun-temurun. Selain itu, MHA juga dapat memaksimalkan pemanfaatan hasil hutan non-kayu untuk pemenuhan kebutuhan sehari-harinya, seperti madu, rotan, getah karet, dan/atau tanaman obat.

 

Peran Pemerintah dan Tantangan di Masa Depan

Pemerintah menjadi stakeholder kunci yang menetapkan kawasan hutan adat atas permohonan dari MHA. Dalam pengakuan hak, pemerintah bertugas untuk menetapkan hutan adat melalui SK Menteri dari KLHK dan peraturan daerah tentang pengakuan hak kawasan hutan adat dengan prosedur yang sesuai dan berbagai pertimbangan yang telah dilakukan atas permohonan dari MHA. Dalam perlindungan ekosistem, pemerintah mendukung aktivitas pengelolaan hutan adat untuk mitigasi perubahan iklim, menjaga kelestarian biodiversitas, dan berkontribusi atau terlibat dalam penyelesaian konflik lingkungan. Selain itu, pemerintah juga berperan dalam pendampingan MHA, yang mana melibatkan KLHK, Pemerintah daerah, lembaga adat, dan MHA untuk secara bersama-sama, berkoordinasi dalam mewujudkan keberlanjutan kawasan hutan adat. Meskipun begitu, tentu akan muncul tantangan-tantangan di masa mendatang, seperti konflik lahan, kesulitan validasi wilayah adat, ancaman ekonomi, ataupun kondisi penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan pengawasan, kemudian perlu melibatkan koordinasi dari berbagai pihak pendamping, seperti pemerintah, NGO, atau sektor swasta sehingga mendukung dalam perlindungan kawasan hutan adat. Juga perlu adanya pelatihan pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan kesepakatan regulasi yang mendukung kelestarian dan keberlanjutan hutan adat.

 

Penutup

Setiap hutan adat pasti memiliki karakteristiknya masing-masing dengan cara pengelolaan hutan sesuai tradisi mereka. Hutan adat tidak hanya dimaknai sebagai sumber daya alam yang dimanfaatkan hasilnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup atau dalam sektor ekonomi, namun juga dimaknai dalam aspek kebudayaannya. MHA memiliki semangat yang luar biasa untuk mempertahankan wilayah adatnya supaya dapat diturunkan ke generasi-generasi selanjutnya. Dari tahun ke tahun, pengajuan permohonan penetapan hutan adat semakin banyak, sehingga perlu adanya observasi di lapangan dan koordinasi dengan berbagai pihak, tentunya dengan mempertimbangkan kesejahteraan dan pemberdayaan MHA. Dalam penetapan wilayah adat menjadi kawasan hutan adat, tentunya akan muncul banyak tantangan yang yang harus dihadapi. Untuk itu perlu dilakukan pencegahan, sehingga dapat meminimalisir timbulnya permasalahan atau konflik. Juga dapat dilakukan pengembangan hutan adat kepada MHA dengan strategi peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui kemitraan.


Sumber :

Nugroho, P. (2020). Jejak Langkah Hutan Adat 2016-2020. KLHK.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.